Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Albert Aries
Advokat dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik

Pengawasan Yudisial atas Penyidikan, Praperadilan atau HPP?

Kompas.com - 26/05/2025, 13:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUNCULNYA kembali usulan pengawasan yudisial (judicial scrutiny) atas upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan pada pembahasan RUU KUHAP telah membawa kita kembali pada perdebatan soal Praperadilan dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP).

Hukum Acara Pidana seyogyanya merupakan aturan yang memungkinkan dilakukannya “pelanggaran HAM” berupa upaya paksa yang “diperbolehkan” oleh undang-undang untuk kepentingan penegakan hukum pidana. Misalnya menangkap, menahan, menggeledah, menyita, menyadap dll.

Meski tidak hanya ada pada tingkat penyidikan, tapi upaya paksa cenderung lebih banyak dilakukan pada penyidikan sebagai pintu gerbang sistem peradilan pidana, sehingga tidak akan pernah lepas dari kritik atas ketidakprofesionalan dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat.

Dalam Rancangan KUHAP (2012), HPP pernah diproyeksikan untuk menggantikan Praperadilan yang awalnya dimaksudkan menjadi “habeas corpus ad subjiciendum”, yaitu tempat “mengadukan” pelanggaran hak asasi dalam peradilan pidana.

Sayangnya kini Praperadilan dianggap terlalu formil dan terbatas kewenangannya.

Baca juga: Menggali Pemikiran Yap Thiam Hien soal Penahanan

Namun, perdebatan sesungguhnya antara model HPP dan Praperadilan sebagai pengawasan yudisial terhadap upaya paksa, kini bukanlah terletak pada soal penamaan keduanya, melainkan pada timing dari kewenangannya, yaitu apakah di awal (ante factum) untuk HPP dan sesudahnya (post factum) untuk Praperadilan.

"Crime Control Vs Due Process"

Dalam menentukan model pengawasan yudisial apa yang akan diterapkan dalam RUU KUHAP haruslah memperhatikan keseimbangan dari pengendalian kejahatan (Crime Control Model) dan proses hukum sebagaimana mestinya (Due Process of Law), yang paling cocok dan dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia.

Menurut Herbert L. Packer, Crime Control Model menekankan bahwa pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting yang harus dilaksanakan dalam proses pidana.

Kegagalan penegakan hukum dalam mengendalikan kejahatan justru akan mengakibatkan rusaknya ketertiban umum dan merugikan keamanan dari masyarakat.

Dengan kata lain, model yang mirip seperti “jalur perakitan” ini menaruh perhatian utama pada efisiensi dan efektifitas dari suatu proses pidana dalam menyaring tersangka, menentukan kesalahan, dan disposisi akhir terhadap seorang terdakwa, yaitu dibebaskan atau dijatuhi sanksi pidana.

Sedangkan, Due Process of Law, menurut Packer, ibaratnya merupakan “jalur rintangan”, yaitu berupa tahap-tahap berurutan yang dirancang untuk menjadi hambatan dalam membawa tersangka lebih jauh ke dalam proses pidana, yang bertujuan melindungi hak-hak individu dari penyalahgunaan kekuasaan oleh Negara.

Model ini menuntut adanya pencegahan dan sebisa mungkin penghapusan pelanggaran prosedural yang dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam suatu proses pidana. Bahkan terdapat sanksi atas dilakukannya pelanggaran oleh aparat penegak hukum.

Yang menarik, Penjelasan Pasal 4 RUU KUHAP versi 3 Maret 2025, menyebutkan bahwa yang dimaksud para pihak berlawanan secara berimbang (sistem adversarial) harus menjamin keseimbangan antara hak penyidik, hak penuntut umum dan/atau hak Tersangka/Terdakwa dalam proses peradilan pidana.

Baca juga: Mau Dibawa Kemana Advokat Dalam RUU KUHAP?

Dengan kata lain, ratio legis yang diamanatkan dalam RUU KUHAP seharusnya berupaya mencari keseimbangan antara kedua model tersebut guna memastikan tercapainya kebenaran materiil dan kepastian hukum yang berkeadilan.

Ideal belum tentu cocok

Melihat kewenangan Negara yang begitu besar dalam menentukan perbuatan apa yang ditetapkan sebagai tindak pidana (jus poenale) dan memproses hukum pelaku tindak pidana (jus puniendi), maka model HPP nampaknya terkesan ideal.

Namun, apakah model tersebut cocok untuk diterapkan di seluruh Indonesia? Belum tentu!

Dari sisi geografis, Indonesia yang terdiri 17.380 pulau, 416 kabupaten, dan 98 kota memiliki kurang lebih 34 Polda, 615 Polres, belum termasuk Polsek yang masih memiliki kewenangan penyidikan.

Maka model HPP yang bertugas di 347 pengadilan negeri akan sangat kewalahan dengan beban kerja 24 jam dalam memberikan persetujuan atas upaya paksa di awal.

Sementara di beberapa wilayah Indonesia Timur mengalami kesulitan infrastruktur. Misalnya di Kupang, wilayahnya sangat luas dan akses jalannya harus menyeberangi sungai besar dengan kondisi yang sedang ambruk dan terputus aksesnya dari Kabupaten Kupang ke Amfoang.

Belum lagi di Pegunungan Arfak di Manokwari Papua Barat, di mana infranstruktur dan jaringan internetnya sangat terbatas.

Tepatlah pandangan yang disampaikan oleh Advokat Fredrik J. Pinakunary, “Kita yang di Jakarta atau kota-kota besar lainnya perlu 'banyak main' ke daerah agar bisa melihat dan memahami situasi bahwa Indonesia itu luas, bukan hanya sekedar Jakarta atau Pulau Jawa saja".

Selanjutnya, menurut data BPS yang diperbarui datanya hingga 12 Desember 2024, selama tahun 2023 telah terjadi 584.991 tindak pidana.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-ekonomi, dan juga budaya hukum masyarakat yang masih mengedepankan hukum pidana sebagai sarana balas dendam (lex talionis).

Selain itu, menurut pandangan Mahkamah Agung pada Februari 2025, syarat pembentukan Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) yang sempat dimandatkan RUU KUHAP (2012) harus dibenahi. Misalnya, saat ini jumlah hakim di berbagai satuan kerja pengadilan sangat terbatas.

Syarat yang ditentukan dalam RUU KUHAP (2012) memang sangat berat, tapi cukup beralasan. Misalnya, memiliki kapabilitas dan integritas moral tinggi, bertugas sebagai hakim di pengadilan negeri minimal 10 tahun dan berpangkat serendah-rendahnya golongan III/c.

Menurut penulis, syarat itu diperlukan untuk memastikan bahwa pengawasan yudisial oleh HPP menjadi objektif, profesional, dan berintegritas.

Baca juga: Kaki Advokat Naik Meja Sidang, Awal Runtuhnya Wibawa Peradilan

Jika persyaratannya tidak terpenuhi, maka akan sangat berisiko menggantungkan nasib pencari keadilan pada HPP yang bersifat tunggal, tertutup, dan berpotensi korup.

Selain itu, maraknya kejahatan siber seperti scam online, masih membutuhkan kecepatan bertindak, sehingga jika upaya paksa harus “dibebani” persetujuan HPP, maka dipastikan pelaku kejahatan akan melenggang bebas.

Memaksimalkan Praperadilan

Kita tidak boleh lupa bahwa Miranda Rules yang selama ini dijadikan patokan dalam pemenuhan hak-hak tersangka/terdakwa, pada akhirnya tetap mengantarkan Ernesto Miranda dihukum 30 tahun penjara atas dakwaan pemerkosaan, penculikan, dan perampokan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Model HPP yang bersifat “Ante Factum” juga berpotensi melanggar asas “Separatio potestatum systema iustitiae criminalis”, karena HPP seolah-olah menjadi “atasan” penyidik, dan tumpang tindih dengan fungsi penuntut Umum.

Misalnya, jika HPP memutuskan suatu perkara tidak layak dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka penuntut umum mengeluarkan surat perintah penghentian penuntutan (Pasal 44 ayat 4 RUU KUHAP 2012).

Advokat Adnan Buyung Nasution pernah berpandangan konsekuensi yuridis dari keberadaan HPP juga akan mengubah UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Polri, UU Kejaksaan.

Menurut penulis, termasuk pula seluruh UU Administrasi Bersanksi Pidana yang memuat ketentuan penyidikan dan lembaga penyidik yang tidak dikecualikan UU Tindak Pidana Khusus.

Jika HPP sudah memberikan “izin” atas upaya paksa yang dilakukan penyidik/penuntut umum di awal, tapi ternyata terdapat kekeliruan dan penyimpangan, maka forum bagi tersangka untuk mengajukan keberatan atas upaya paksa yang sebelumnya sudah diberikan bertentangan dengan asas “Nemo judex causa in sua”, karena secara horisontal HPP akan mengadili persetujuan yang pernah diberikannya sendiri.

Sesuai pandangan bahwa orang lebih berharga daripada barang, dengan memperketat syarat upaya paksa dan mengoptimalkan fungsi advokat dalam RUU KUHAP, maka penguatan Praperadilan sebagai tempat mengadukan pelanggaran HAM yang bersifat “post factum” masih layak untuk dipertahankan.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau