Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Albert Aries
Advokat dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik

Pengawasan Yudisial atas Penyidikan, Praperadilan atau HPP?

Kompas.com - 26/05/2025, 13:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun, apakah model tersebut cocok untuk diterapkan di seluruh Indonesia? Belum tentu!

Dari sisi geografis, Indonesia yang terdiri 17.380 pulau, 416 kabupaten, dan 98 kota memiliki kurang lebih 34 Polda, 615 Polres, belum termasuk Polsek yang masih memiliki kewenangan penyidikan.

Maka model HPP yang bertugas di 347 pengadilan negeri akan sangat kewalahan dengan beban kerja 24 jam dalam memberikan persetujuan atas upaya paksa di awal.

Sementara di beberapa wilayah Indonesia Timur mengalami kesulitan infrastruktur. Misalnya di Kupang, wilayahnya sangat luas dan akses jalannya harus menyeberangi sungai besar dengan kondisi yang sedang ambruk dan terputus aksesnya dari Kabupaten Kupang ke Amfoang.

Belum lagi di Pegunungan Arfak di Manokwari Papua Barat, di mana infranstruktur dan jaringan internetnya sangat terbatas.

Tepatlah pandangan yang disampaikan oleh Advokat Fredrik J. Pinakunary, “Kita yang di Jakarta atau kota-kota besar lainnya perlu 'banyak main' ke daerah agar bisa melihat dan memahami situasi bahwa Indonesia itu luas, bukan hanya sekedar Jakarta atau Pulau Jawa saja".

Selanjutnya, menurut data BPS yang diperbarui datanya hingga 12 Desember 2024, selama tahun 2023 telah terjadi 584.991 tindak pidana.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-ekonomi, dan juga budaya hukum masyarakat yang masih mengedepankan hukum pidana sebagai sarana balas dendam (lex talionis).

Selain itu, menurut pandangan Mahkamah Agung pada Februari 2025, syarat pembentukan Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) yang sempat dimandatkan RUU KUHAP (2012) harus dibenahi. Misalnya, saat ini jumlah hakim di berbagai satuan kerja pengadilan sangat terbatas.

Syarat yang ditentukan dalam RUU KUHAP (2012) memang sangat berat, tapi cukup beralasan. Misalnya, memiliki kapabilitas dan integritas moral tinggi, bertugas sebagai hakim di pengadilan negeri minimal 10 tahun dan berpangkat serendah-rendahnya golongan III/c.

Menurut penulis, syarat itu diperlukan untuk memastikan bahwa pengawasan yudisial oleh HPP menjadi objektif, profesional, dan berintegritas.

Baca juga: Kaki Advokat Naik Meja Sidang, Awal Runtuhnya Wibawa Peradilan

Jika persyaratannya tidak terpenuhi, maka akan sangat berisiko menggantungkan nasib pencari keadilan pada HPP yang bersifat tunggal, tertutup, dan berpotensi korup.

Selain itu, maraknya kejahatan siber seperti scam online, masih membutuhkan kecepatan bertindak, sehingga jika upaya paksa harus “dibebani” persetujuan HPP, maka dipastikan pelaku kejahatan akan melenggang bebas.

Memaksimalkan Praperadilan

Kita tidak boleh lupa bahwa Miranda Rules yang selama ini dijadikan patokan dalam pemenuhan hak-hak tersangka/terdakwa, pada akhirnya tetap mengantarkan Ernesto Miranda dihukum 30 tahun penjara atas dakwaan pemerkosaan, penculikan, dan perampokan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Model HPP yang bersifat “Ante Factum” juga berpotensi melanggar asas “Separatio potestatum systema iustitiae criminalis”, karena HPP seolah-olah menjadi “atasan” penyidik, dan tumpang tindih dengan fungsi penuntut Umum.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau