DI TENGAH dominasi aktor-aktor penegak hukum negara seperti polisi dan jaksa, posisi advokat sebagai penegak hukum kerap kali hanya diakui secara normatif, tapi dipinggirkan secara praksis.
Advokat sebagai penegak hukum menjalankan fungsi dan perannya untuk mewakili kepentingan masyarakat secara mandiri tanpa ada intervensi dari pihak lain, termasuk pengaruh pada kekuasaan negara.
Advokat dalam menjalankan tugas dan fungsinya idealnya dilengkapi dengan kewenangan, sama halnya dengan penegak hukum lain, seperti polisi, jaksa, maupun hakim.
Pengaturan mengenai advokat saat ini dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Sayangnya, UU Advokat justru abai mengatur secara rinci fungsi strategis advokat dalam sistem peradilan pidana. Kekosongan ini seolah menempatkan advokat hanya sebagai pelengkap prosedur, bukan aktor utama penegak keadilan.
Pengertian tentang Advokat ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dalam Pasal 1 angka 1 yang mendefinisikan bahwa: “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum di dalam maupun di luar persidangan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”.
Baca juga: Pemerintah Ungkap 9 Poin Penguatan di Dalam DIM RUU KUHAP
Advokat dalam memberikan jasa hukumnya, pada praktiknya kerap kali dijumpai dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka sidang.
Dalam semua tingkat tersebut, advokat harus mempunyai surat kuasa untuk mendampingi, mewakili, memberikan nasihat hukum kepada kliennya. Tanpa adanya surat kuasa ini, advokat tidak dapat memberikan jasa hukum untuk mendampingi kliennya pada tingkat apapun.
Advokat memiliki kedudukan yang setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam konteks penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang adil dan beradab, advokat memiliki peran fundamental dalam sistem peradilan yang terjadi.
Hal ini dikarenakan, advokat memiliki tanggung jawab untuk dapat melindungi hak-hak klien yang ia bela di setiap proses hukum acara baik pidana maupun perdata.
Peran advokat dalam proses hukum acara pidana, salah satunya adalah mendampingi klien pada tingkat penyidikan.
Berbeda dengan tingkatan hukum acara lainnya, pada proses penyidikan peran advokat direduksi, “hadir tapi dibungkam”.
Ia menjadi penonton dalam ruang hukum yang mestinya menjadi medan pembelaan. Advokat pada tahap ini tidak diperbolehkan untuk memberikan nasihat, seolah-olah kehadirannya berupa persiapan untuk menyusun pembelaan atau pemberian nasihat pada taraf pemeriksaan.
Lebih lanjut, peran advokat pada tahap penyelidikan tidak diatur secara spesifik dalam KUHAP. Hal ini menjadi problem tersendiri, mengingat tersangka sangat rentan mengalami pemaksaan pada pemeriksaan di tahap penyelidikan.
Dalam hal ini, peran advokat sangat penting untuk dapat mendampingi tersangka pada tahap penyelidikan dan penyidikan.