Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perilaku Baru Simpanse: Mengungkap Jejak Virus dari Kotoran Kelelawar

Kompas.com - 22/09/2025, 17:53 WIB
Wisnubrata

Penulis

Sumber Earth.com

KOMPAS.com - Budongo Forest di Uganda Barat adalah hutan tropis yang selalu hidup: simpanse, monyet colobus, kijang merah, dan kelelawar memenuhi koridornya setiap hari. Namun, di balik keindahan ini, para peneliti menemukan cerita menarik tentang bagaimana perubahan kecil pada lingkungan dapat membuka jalur baru bagi pertemuan antara hewan dan virus—dan mungkin memberi petunjuk penting untuk mencegah pandemi di masa depan.

Selama bertahun-tahun, satwa di Budongo mengandalkan pohon palem Raphia farinifera sebagai sumber mineral seperti natrium, kalium, magnesium, dan fosfor. Ketika palem itu mati dan membusuk, mereka menjadi semacam “prasmanan mineral” alami.

Namun antara 2006–2012, sebagian besar pohon ini ditebang penduduk untuk diambil seratnya sebagai pengikat daun tembakau yang sedang dijemur. Prasmanan itu lenyap.

Pada 2017, kamera jebak menangkap perilaku baru: simpanse dan satwa lain mulai memakan kotoran kelelawar (guano) yang menumpuk di bawah pohon tempat kelelawar bersarang. Ini bukan kebetulan—mereka kembali ke titik yang sama berulang kali.

“Guano ternyata kaya akan mineral yang dulunya tersedia dari pohon Raphia. Saat sumber itu hilang, hewan mencari alternatif—dan menemukannya di bawah sarang kelelawar,” jelas para peneliti.

Baca juga: Manusia Sebarkan Lebih Banyak Virus ke Hewan, Bukan Sebaliknya

Kotoran Kelelawar dan Jejak Virus

Peneliti mengumpulkan sampel guano dan menganalisis kandungan mineralnya. Hasilnya menonjolkan fosfor, serta mineral penting lain untuk kesehatan satwa. Lebih jauh lagi, mereka menggunakan metagenomik—teknik yang menganalisis semua materi genetik dalam sampel—untuk mencari keberadaan mikroba dan virus.

Hasilnya mengejutkan: ditemukan 27 jenis virus eukariotik, termasuk satu betacoronavirus baru dari kelompok Hibecovirus. Coronaviridae adalah keluarga virus besar yang mencakup beberapa strain yang bisa menginfeksi manusia.

Temuan ini mengungkap jalur paparan baru antara satwa liar dan virus. Meskipun belum ada penyakit yang dilaporkan pada satwa yang diamati, jembatan interaksi ini kini ada—dan berulang.

Baca juga: Apa Virus Pertama yang Ditemukan Ilmuwan?

Dari Ekonomi Lokal ke Risiko Global

Kisah ini menunjukkan bagaimana rantai risiko terbentuk:

Berawal dari kebutuhan ekonomi → penebangan pohon → kekurangan mineral → satwa makan guano → paparan virus.

Perubahan lanskap akibat kebutuhan manusia—dalam hal ini untuk pengeringan tembakau—secara tidak langsung mengubah pola makan hewan dan meningkatkan kemungkinan kontak dengan patogen baru.

“Paparan tidak selalu berarti infeksi,” tulis studi itu. “Namun semakin sering kontak terjadi, semakin besar peluang virus mencoba ‘loncat’ ke inang baru.”

Baca juga: Studi Ungkap Virus Covid Berevolusi Pesat pada Rusa Ekor Putih

Mengapa Mineral Sangat Penting bagi Satwa

Mineral seperti natrium dan fosfor penting untuk sinyal saraf, kekuatan tulang, dan fungsi enzim. Di hutan tropis, ketersediaannya sering rendah. Hewan herbivora atau omnivora biasanya mencari salt lick alami, menggigit kayu lapuk, atau mencari tanaman asin.

Kehilangan Raphia berarti menu alami mereka berubah. Kamera menunjukkan bahwa perilaku makan guano bukan kejadian sesaat, melainkan pola yang bertahan selama bertahun-tahun.

Baca juga: Apakah Virus Termasuk Makhluk Hidup?

Risiko yang Meningkat Bila Kontak Terjadi Berulang

Frekuensi kontak sangat menentukan risiko. Jika simpanse dan kijang kembali ke tumpukan guano setiap hari, tingkat paparan meningkat. Lebih banyak spesies yang berbagi sumber ini berarti lebih banyak “kesempatan” bagi virus untuk beradaptasi dan mencoba inang baru.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau