Konsekuensinya, dibutuhkan pemahaman spesifik terhadap segala kekhasan dalam dinamika kehidupan anak-anak.
Demikian pula terhadap pelaku pidana yang masih berusia anak-anak. Dari penamaannya saja sudah berbeda.
Pelaku dewasa, pada tahap persidangan, disebut terdakwa. Sedangkan anak-anak yang melakukan pidana dinamai sebagai anak yang berkonflik dengan hukum (ABH).
Tentu, warna eufemistik pada aspek penamaan itu tidak semestinya membuat hakim juga melakukan penyederhanaan cara pikir saat menyidang ABH.
Namun, realitasnya tidak benar-benar sebangun dengan asumsi di atas. Itu tampak, antara lain, pada jumlah hakim dan masa persidangan perkara pidana anak.
Persidangan terhadap terdakwa (dewasa) bisa berlangsung berbulan-bulan. Kontras, ketika yang disidang adalah ABH, ditentukan batas waktu maksimal lima belas hari.
Demikian pula terkait jumlah hakim. Pada persidangan terdakwa (dewasa), hakim berformat majelis (panel) yang terdiri dari satu hakim ketua dan dua hakim anggota. Sedangkan pada persidangan ABH, diberlakukan hakim tunggal.
Cukupkah waktu?
Secara umum, jika disederhanakan, persidangan terhadap terdakwa (dewasa) diselenggarakan dengan asumsi bahwa perbuatan pidana merupakan sepenuhnya produk dari si pelaku. Pertanggungjawaban ditagih ke pelaku bersangkutan.
Persidangan diadakan untuk menentukan hukuman setimpal yang akan dijatuhkan semata-mata kepada terdakwa sekiranya ia divonis bersalah.
Kerangka kerja sedemikian rupa berlandaskan pada filosofi retributive. Filosofi ini dimajaskan sebagai “mata balas mata”, “sakit balas sakit”, bahkan “nyawa balas nyawa”.
Cara pandang seperti itu tidak diterapkan, bahkan terlarang, pada ABH. ‘Larangan’ sedemikian rupa sudah menjadi disclaimer sejak pasal-pasal awal UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Misalnya, UU SPPA mengingatkan seluruh pemangku kepentingan agar menghindari perasaan amarah, apalagi dendam saat menangani ABH.
Ditandaskan, ABH harus tetap dipandang sebagai insan yang memiliki masa depan. Sehingga, menjadi tanggung jawab para pemangku kepentingan, tidak terkecuali instansi-instansi dalam sistem peradilan pidana, untuk tidak mengenakan perlakuan yang merusak prospek ABH menyongsong masa depannya itu.
Sampai pada poin itu saja seketika sudah bisa ditangkap–setidaknya–kesan kompleks yang terkandung pada diri anak-anak yang melakukan pidana.
Kesan itu saya angkat menjadi pembahasan pada Diklat Hakim SPPA di Pusdiklat Mahkamah Agung, melalui ulasan tentang Bioecological Model.
Berbeda dengan model yang sangat berfokus pada pembuktian kebersalahan perilaku terdakwa (dewasa) an sich, persidangan anak mengharuskan adanya perspektif lebih komprehensif atas kehidupan–bukan terbatas perilaku–ABH.
Perspektif menyeluruh itu tersedia dalam Bioecological Model. Model ini jarang digunakan pada persidangan terhadap terdakwa (dewasa), kecuali pada perkara-perkara tertentu yang sangat terbatas jumlahnya.
Intinya, Bioecological Model meninjau ABH sebagai individu yang berinteraksi secara teratur dan kompleks dengan lingkungannya.
Lingkungan dimaksud terdiri lima sistem yang saling terkoneksi, yakni microsystem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan chronosystem. Interkoneksi itu membentuk perkembangan anak, termasuk–pada gilirannya–perilaku pidana anak.
Cakupan luas ala Bioecological Model itu berimplikasi pada tujuan persidangan. Yaitu, bukan punitive, melainkan rehabilitative.
“Hukuman” dan “tindakan” (keduanya kosakata yang tercantum dalam UU SPPA), berdasarkan Bioecological Model, dikenakan guna merekonstruksi cara belajar ABH terhadap sistem-sistem yang terlanjur toksik di sepanjang perjalanan hidupnya.
Dari situ dapat diperkirakan betapa amat-sangat kayanya informasi yang perlu digali, diuji, dan disimpulkan pada persidangan ABH.
Namun, pertanyaannya: mengapa persidangan ABH justru dibatasi lima belas hari saja? Dengan alokasi waktu yang dipersingkat sedemikian rupa, alih-alih komprehensif, perbendaharaan informasi yang relevan untuk diketahui hakim justru akan sangat terbatas pula.
Sekian kali saya hadir di persidangan ABH, ditambah dengan informasi dari sekian banyak pihak yang otoritatif.
Simpulan terbatas saya, limitasi waktu persidangan hingga sebegitu singkat menciptakan situasi yang berisiko bagi ABH. Peluang baginya untuk divonis bersalah akan cenderung tinggi, karena dua faktor.
Pertama, demi mengejar tenggat waktu, hakim dapat terdorong melakukan mental shortcut. Kebutuhan untuk mengeksplorasi data terpaksa ditekan. Ketidakakuratan pun menganga.
Hakim bisa pula menyiasatinya dengan memperpanjang sesi persidangan hingga mencapai durasi waktu yang secara psikologis tidak lagi kondusif bagi optimalnya proses kerja otak manusia, termasuk proses berpikir hakim sendiri.
Kedua, dalam sensasi dikejar-kejar waktu, hakim rentan terbawa ke penalaran jaksa, dan sulit menetralisasi dirinya dari framing tersebut, apalagi mengadopsi penalaran penasehat hukum ABH. Akibatnya, probabilitas ABH divonis bersalah pun meninggi.
Nasib ABH semakin berat apabila, sebelum masuk ke persidangan, Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kemenkumham pun terkondisi untuk memeriksa anak dimaksud harus sebagai tersangka.
Padahal, tidak tertutup kemungkinan Bapas menemukan bahwa anak sesungguhnya tidak melakukan tindak pidana sebagaimana penyidik Polri sangkakan.
Oleh karena itu, pada praktik pemeriksaan di lapangan, Bapas harus berupaya keras agar dapat melakukan pemeriksaan terhadap anak tetap dari posisi netral.
Pemeriksaan anak oleh Bapas harus independen dan substantif. Tidak sepatutnya sebatas menggugurkan kewajiban yang ditentukan UU SPPA, apalagi hanya untuk meneguhkan penersangkaan anak oleh kepolisian.
Cukupkah jumlah hakim?
Dari uraian di atas tergambar betapa perkara ABH–setidaknya–sama peliknya dengan perkara terdakwa dewasa. Perkara ABH pun pasti sama pentingnya dengan perkara terdakwa dewasa.
Namun, mengapa persidangan ABH diadakan dengan format hakim tunggal?
Pantaskah untuk ditengarai bahwa–diam-diam–ada kepercayaan umum di lembaga peradilan dan penyusun undang-undang bahwa anak-anak, dengan postur tubuh yang kecil dan tingkat kognitif mereka yang belum matang, pasti lebih gampang untuk dipahami hakim?
Karena ABH dianggap apa adanya, masalah mereka pun dinilai sederhana sehingga mudah pula menentukan nasib mereka. Begitukah?
https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/10/24/070000180/persidangan-terdakwa-anak-terlalu-sederhanakah-