Kesan itu saya angkat menjadi pembahasan pada Diklat Hakim SPPA di Pusdiklat Mahkamah Agung, melalui ulasan tentang Bioecological Model.
Berbeda dengan model yang sangat berfokus pada pembuktian kebersalahan perilaku terdakwa (dewasa) an sich, persidangan anak mengharuskan adanya perspektif lebih komprehensif atas kehidupan–bukan terbatas perilaku–ABH.
Perspektif menyeluruh itu tersedia dalam Bioecological Model. Model ini jarang digunakan pada persidangan terhadap terdakwa (dewasa), kecuali pada perkara-perkara tertentu yang sangat terbatas jumlahnya.
Intinya, Bioecological Model meninjau ABH sebagai individu yang berinteraksi secara teratur dan kompleks dengan lingkungannya.
Lingkungan dimaksud terdiri lima sistem yang saling terkoneksi, yakni microsystem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan chronosystem. Interkoneksi itu membentuk perkembangan anak, termasuk–pada gilirannya–perilaku pidana anak.
Cakupan luas ala Bioecological Model itu berimplikasi pada tujuan persidangan. Yaitu, bukan punitive, melainkan rehabilitative.
“Hukuman” dan “tindakan” (keduanya kosakata yang tercantum dalam UU SPPA), berdasarkan Bioecological Model, dikenakan guna merekonstruksi cara belajar ABH terhadap sistem-sistem yang terlanjur toksik di sepanjang perjalanan hidupnya.
Dari situ dapat diperkirakan betapa amat-sangat kayanya informasi yang perlu digali, diuji, dan disimpulkan pada persidangan ABH.
Namun, pertanyaannya: mengapa persidangan ABH justru dibatasi lima belas hari saja? Dengan alokasi waktu yang dipersingkat sedemikian rupa, alih-alih komprehensif, perbendaharaan informasi yang relevan untuk diketahui hakim justru akan sangat terbatas pula.
Sekian kali saya hadir di persidangan ABH, ditambah dengan informasi dari sekian banyak pihak yang otoritatif.
Simpulan terbatas saya, limitasi waktu persidangan hingga sebegitu singkat menciptakan situasi yang berisiko bagi ABH. Peluang baginya untuk divonis bersalah akan cenderung tinggi, karena dua faktor.
Pertama, demi mengejar tenggat waktu, hakim dapat terdorong melakukan mental shortcut. Kebutuhan untuk mengeksplorasi data terpaksa ditekan. Ketidakakuratan pun menganga.
Hakim bisa pula menyiasatinya dengan memperpanjang sesi persidangan hingga mencapai durasi waktu yang secara psikologis tidak lagi kondusif bagi optimalnya proses kerja otak manusia, termasuk proses berpikir hakim sendiri.
Kedua, dalam sensasi dikejar-kejar waktu, hakim rentan terbawa ke penalaran jaksa, dan sulit menetralisasi dirinya dari framing tersebut, apalagi mengadopsi penalaran penasehat hukum ABH. Akibatnya, probabilitas ABH divonis bersalah pun meninggi.
Nasib ABH semakin berat apabila, sebelum masuk ke persidangan, Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kemenkumham pun terkondisi untuk memeriksa anak dimaksud harus sebagai tersangka.