Padahal, tidak tertutup kemungkinan Bapas menemukan bahwa anak sesungguhnya tidak melakukan tindak pidana sebagaimana penyidik Polri sangkakan.
Oleh karena itu, pada praktik pemeriksaan di lapangan, Bapas harus berupaya keras agar dapat melakukan pemeriksaan terhadap anak tetap dari posisi netral.
Pemeriksaan anak oleh Bapas harus independen dan substantif. Tidak sepatutnya sebatas menggugurkan kewajiban yang ditentukan UU SPPA, apalagi hanya untuk meneguhkan penersangkaan anak oleh kepolisian.
Cukupkah jumlah hakim?
Dari uraian di atas tergambar betapa perkara ABH–setidaknya–sama peliknya dengan perkara terdakwa dewasa. Perkara ABH pun pasti sama pentingnya dengan perkara terdakwa dewasa.
Namun, mengapa persidangan ABH diadakan dengan format hakim tunggal?
Pantaskah untuk ditengarai bahwa–diam-diam–ada kepercayaan umum di lembaga peradilan dan penyusun undang-undang bahwa anak-anak, dengan postur tubuh yang kecil dan tingkat kognitif mereka yang belum matang, pasti lebih gampang untuk dipahami hakim?
Karena ABH dianggap apa adanya, masalah mereka pun dinilai sederhana sehingga mudah pula menentukan nasib mereka. Begitukah?
Â
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini