NEW YORK, KOMPAS.com - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar pertemuan tingkat tinggi selama dua hari, mulai Senin (28/7/2025) di markas besar PBB, New York, Amerika Serikat (AS).
Tujuannya untuk mendorong implementasi solusi dua negara dalam penyelesaian perang Israel-Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Pertemuan ini dipimpin bersama oleh Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Noël Barrot dan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan. Namun, Israel dan sekutunya, Amerika Serikat, memilih untuk tidak hadir.
Baca juga: Paus Leo Soroti Kelaparan dan Kekerasan di Gaza, Desak Gencatan Senjata
Pemerintah Israel secara terbuka menolak solusi dua negara, sementara AS menyebut forum ini “kontraproduktif” terhadap upaya menghentikan perang di Gaza.
“Karena kenyataan yang suram, kita harus berbuat lebih banyak untuk mewujudkan solusi dua negara,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat membuka pertemuan tersebut.
Ia menyoroti kehancuran di Gaza dan rencana Israel menganeksasi wilayah Tepi Barat, yang seharusnya menjadi bagian dari negara Palestina di masa depan.
Dalam kesempatan yang sama, Perdana Menteri Palestina Mohammed Mustafa menyerukan kepada negara-negara yang belum mengakui Palestina sebagai negara merdeka agar segera melakukannya.
“Jalan menuju perdamaian dimulai dengan mengakui negara Palestina dan menjaganya dari kehancuran,” ujar Mustafa. Ia juga menyambut baik rencana Perancis untuk memberikan pengakuan resmi pada pertemuan Majelis Umum PBB September mendatang.
Sejauh ini, sekitar 145 negara telah mengakui Palestina. Jika terealisasi, keputusan Perancis akan menjadikannya negara Barat berpengaruh pertama yang mengambil langkah tersebut dalam beberapa tahun terakhir, di tengah meningkatnya kemarahan global atas krisis kemanusiaan di Gaza.
Baca juga: Wartawan di Gaza Terisolasi, Media Global Desak Perlindungan dan Akses
Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Noël Barrot berharap pertemuan ini menjadi titik balik dalam mendorong implementasi solusi dua negara.
“Kita harus mengupayakan cara dan sarana untuk beralih dari berakhirnya perang di Gaza hingga berakhirnya konflik Israel-Palestina,” ujarnya, dikutip dari AP News.
Senada dengan itu, Pangeran Faisal menyebut forum ini sebagai “tahap bersejarah” yang tidak hanya ditujukan untuk mengakhiri konflik berdarah selama hampir dua tahun, tetapi juga untuk menciptakan kondisi kondusif bagi perdamaian jangka panjang melalui pembentukan negara Palestina.
Seorang diplomat Arab Saudi, Manal Radwan, yang memimpin delegasi dalam pertemuan persiapan, menekankan bahwa pertemuan ini bukan sekadar refleksi, tetapi harus menghasilkan peta jalan nyata.
“Harus ada rencana politik yang kredibel dan tidak dapat diubah, yang mengatasi akar penyebab konflik dan menawarkan jalan nyata menuju perdamaian, martabat, dan keamanan bersama,” ujarnya.
Baca juga: Truk Bantuan Kemanusiaan Mulai Masuk Gaza di Tengah Jeda Taktis Israel
Gagasan solusi dua negara sejatinya telah ada sejak lama. Pada 1947, PBB mengusulkan pembagian wilayah Palestina yang kala itu di bawah mandat Inggris, menjadi dua negara, yakni satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab.