NEW YORK, KOMPAS.com – Presiden Perancis Emmanuel Macron secara resmi mengakui negara Palestina dalam KTT Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, Senin (22/9/2025) waktu setempat.
Langkah bersejarah itu disampaikan Macron di hadapan para pemimpin dunia, meski tanpa kehadiran Israel dan sekutunya, Amerika Serikat (AS).
“Waktunya untuk perdamaian telah tiba, karena kita hanya beberapa saat lagi tidak dapat meraihnya lagi,” ujar Macron dalam pidatonya di markas besar PBB.
Di KTT PBB itu, Macron menegaskan pentingnya menghentikan perang di Gaza, sekaligus menyerukan pembebasan 48 sandera yang masih ditahan oleh Hamas.
“Waktunya telah tiba untuk menghentikan perang, pengeboman di Gaza, pembantaian, dan pengungsian,” katanya, sebagaimana diberitakan AFP pada Selasa (23/9/2025).
Pengakuan bersejarah dan tepuk tangan delegasi Palestina
Macron menambahkan, Perancis tidak akan membuka kedutaan besar untuk Palestina sampai gencatan senjata ditegakkan dan semua sandera dibebaskan.
Keputusan itu langsung mendapat sambutan dari Otoritas Palestina yang menyebutnya “bersejarah dan berani”. Delegasi Palestina di ruang sidang pun memberikan tepuk tangan meriah.
Selain Perancis, sejumlah negara Barat lain seperti Australia, Inggris, Kanada, dan Portugal telah lebih dulu mengumumkan pengakuan terhadap Palestina.
Menyusul kemudian Monako, Belgia, Andorra, Malta, dan Luksemburg, sehingga saat ini sekitar tiga perempat anggota PBB telah mengakui Palestina.
Penolakan Israel dan sekutunya
Pemerintah Israel menolak keras langkah ini. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan tidak akan pernah mengizinkan terbentuknya negara Palestina. Beberapa anggota kabinet sayap kanan bahkan mengancam akan mencaplok Tepi Barat.
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, menyebut pengakuan itu justru memberi ruang bagi kelompok bersenjata Palestina. “Mereka tidak mempromosikan perdamaian. Mereka mendukung terorisme,” katanya.
Gedung Putih juga menyatakan penolakan. Sekretaris Pers Karoline Leavitt menyebut Presiden AS Donald Trump menganggap pengakuan tersebut sebagai “hadiah bagi Hamas”.
Dinamika di panggung diplomasi
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan bahwa komunitas internasional tidak perlu merasa terintimidasi oleh risiko pembalasan atas pengakuan Palestina.
Sementara itu, Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas, yang berbicara secara virtual karena ditolak hadir langsung oleh AS, mendesak Hamas menyerahkan senjatanya.
“Kami juga mengutuk pembunuhan dan penahanan warga sipil, termasuk tindakan Hamas pada 7 Oktober 2023,” ujarnya.
Perancis menjadi tuan rumah bersama pertemuan itu dengan Arab Saudi. Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, menyerukan agar semua negara mengikuti langkah mengakui Palestina.
Efek praktis masih terbatas
Sejumlah negara besar, seperti Jerman, Italia, dan Jepang, tetap menolak pengakuan dengan alasan solusi dua negara harus dicapai melalui negosiasi.
“Solusi dua negara yang dinegosiasikan adalah jalan yang memungkinkan warga Israel dan Palestina hidup dalam damai, aman, dan bermartabat,” kata Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul.
Inggris menyatakan dapat menarik kembali pengakuannya jika Israel setuju melakukan gencatan senjata di Gaza.
Di sisi lain, Israel justru mengintensifkan operasi militernya di Jalur Gaza. Data Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas menyebutkan lebih dari 65.000 warga Palestina tewas sejak perang pecah. Angka ini dianggap dapat diandalkan oleh PBB.
International Crisis Group menilai pengakuan Palestina berisiko hanya bersifat simbolis jika tidak disertai langkah konkret.
“Kecuali didukung oleh tindakan nyata, pengakuan Palestina sebagai negara berisiko mengalihkan perhatian dari kenyataan, yaitu semakin terhapusnya kehidupan Palestina di tanah air mereka,” kata Max Rodenbeck, Direktur Proyek Israel-Palestina lembaga tersebut.
https://www.kompas.com/global/read/2025/09/23/073700670/presiden-perancis-resmi-akui-negara-palestina-di-ktt-pbb-para-delegasi