Penulis: BBC Indonesia
TOKYO, KOMPAS.com - Tiga Warga Negara Indonesia (WNI) di Jepang diduga melakukan perampokan dan ditangkap aparat setempat, akhir Juni kemarin.
Peristiwa ini menambah panjang daftar kasus kejahatan yang melibatkan WNI di Jepang. Apa akar penyebabnya?
Insiden perampokan terjadi pada Januari 2025 di Hokota, Prefektur Ibaraki. Polisi baru meringkus ketiga tersangka lima bulan setelahnya.
Baca juga: Viral Video Putri Kako Jepang Naik Pesawat Kelas Ekonomi, Panen Pujian
Motif para pelaku sampai saat ini masih didalami. Korban merupakan warga lokal Hokota.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Rolliansyah Sumirat, mengungkapkan, pihaknya sudah memberi pendampingan hukum kepada ketiganya.
Ketiga WNI ini, tambah Rolliansyah, tinggal di Jepang melebihi batas waktu—overstayer.
"Ketiga WNI telah didampingi pengacara dan KBRI Tokyo terus berkoordinasi dengan Kepolisian Mito, Kashima, dan Namegata di Prefektur Ibaraki, tempat ketiga WNI tersebut ditahan, untuk dapat menjenguk, memeriksa kondisi mereka," jelas Rolliansyah, Jumat (4/7/2025).
"Dan tentunya melakukan wawancara untuk mengetahui motif dan detail informasi lainnya."
Ini kali kedua dalam waktu yang berjarak tidak terlalu lama berita warga Indonesia "bertingkah" di Jepang muncul ke permukaan.
Publik lebih dulu dibikin ramai dengan video yang memuat pemasangan bendera perguruan silat di salah satu jembatan di Jepang.
Tahun lalu, beredar informasi di media sosial sekelompok WNI membentuk semacam 'geng TKI' di Jepang.
Namun, Kemlu Indonesia menyatakan belum ada temuan yang membuktikan kabar tersebut.
Dua WNI yang sudah tinggal belasan dan puluhan tahun di Jepang mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa pemahaman mengenai budaya maupun kebiasaan masyarakat Jepang—yang berbeda dengan Indonesia—harus ditingkatkan sehingga kejadian buruk tidak terus terulang.
"Pemerintah harus sering melakukan komunikasi, sosialisasi, atau diskusi kepada orang-orang yang dianggap ketua komunitas di Jepang," ujar salah-seorang WNI yang tinggal di Prefektur Mie, Jumat (4/7/2025).
Peneliti kependudukan dari Badan Inovasi dan Riset Nasional (BRIN), yang telah lama mengkaji isu serta fenomena pekerja migran Indonesia di Jepang, menuturkan pembacaan konteks atas kejadian-kejadian itu tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara dua negara ini dalam sektor ketenagakerjaan.
"Di Jepang ini karena diaspora kita sebagian besar adalah kenshusei [pemagang] dengan beragam latar dan karakter orangnya," paparnya.
"Karena sebenarnya faktor pendorongnya itu Jepang yang membutuhkan [tenaga kerja]. Bukan kita."
Kabar mengenai ulah warga Indonesia di Jepang tidak keluar sekali saja.
Sebelum peristiwa kriminal akhir Juni lalu, video berisikan bendera perkumpulan pesilat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) lebih dulu viral. Dalam video itu, beberapa orang terlihat sedang memasang bendera PSHT di salah satu jembatan.
Aksi PSHT seketika memantik reaksi dari publik. Tidak sedikit yang menyebutnya "merugikan nama baik Indonesia," di samping "mengganggu ketertiban masyarakat Jepang."
PSHT mengklarifikasi kejadian ini dan menyatakan video diambil sudah lama, sekitar 2022.
Meski begitu, PSHT, ujar Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo, mengaku akan "melakukan perbaikan dan berkomitmen penuh untuk menaati seluruh ketentuan hukum dan norma yang berlaku di Jepang."
PSHT, di saat yang sama, meminta seluruh anggotanya di Jepang agar tidak memakai atribut komunitas di luar acara internal.
Pada Januari 2025, aparat penegak hukum di Isesaki, Prefektur Gunma, Jepang, melaporkan kepada KBRI Tokyo bahwa mereka telah meringkus 11 WNI atas kasus perampokan yang terjadi beberapa bulan sebelumnya, November 2024. Satu WNI menjadi korban, meninggal setelah ditusuk.
Para tersangka, mengutip keterangan Kementerian Luar Negeri, ditetapkan melanggar hukum untuk dua perkara: kadaluwarsa izin tinggal (overstayer) serta pembunuhan.
Selain di Isesaki, November 2024, tindak pidana juga dilakukan WNI di Kakegawa, Prefektur Shizuoka. WNI berusia 24 tahun merampok kediaman pasangan suami-istri lanjut usia (lansia).
Tidak hanya merampok, tersangka WNI ini menusuk keduanya sampai terluka parah.
Juli pada tahun yang sama, kepolisian Fukuoka menangkap seorang WNI yang merampok dan menganiaya perempuan lokal.
WNI tersebut, berdasarkan keterangan Kemlu RI, memukul korban dari belakang dan mengambil dompetnya.
Dia ditangkap tidak lama selepas korban memberikan ciri-ciri pelaku yang mirip dengannya. Kala diperiksa, dompet korban ditemukan pula di tempat sang WNI.
Kemlu, pada April 2023, mengabarkan tiga WNI ditangkap karena dugaan pembunuhan, menyusul hilangnya WNI berumur 20 tahun selama 24 bulan.
Jasad korban ditemukan polisi di area pegunungan di Kota Ono, Prefektur Fukushima, di dalam sebuah koper.
Polisi menyebut jenazah ini adalah WNI yang dulunya hilang. Tiga WNI lantas ditangkap dengan pasal pembunuhan serta pembuangan mayat.
Berbagai masalah yang timbul tak lepas dari faktor keberadaan WNI di Jepang yang jumlahnya cukup besar.
Selama beberapa tahun belakangan, kepergian WNI ke Jepang, di luar urusan rekreasi, tercatat begitu masif.
Jepang konsisten menempati kursi paling atas negara dengan populasi berusia tua terbesar di dunia.
Pada 2020, angka kelompok usia tua di Jepang menyentuh 28,2 persen dari total penduduk.
Per 2024, merujuk data nasional yang dirilis pemerintah Jepang, persentasenya meningkat menjadi 29,3 persen.
Jumlah populasi kelompok tua, dengan kata lain, mencapai sepertiga dari keseluruhan penduduk, atau sekitar 36 juta orang di Jepang berumur lebih dari 65 tahun.
Jika disederhanakan lagi, satu dari 10 orang di Jepang berumur 80 tahun atau di atasnya.
Populasi yang tua berdampak pada sektor ketenagakerjaan, dan berpeluang mengikis upaya pemerintah Jepang menggenjot perekonomian. Maka dari itu, Jepang membuka pintu masuk bagi para pekerja dari negara lain.
"Karena biar bagaimanapun, di sana itu, walaupun negara maju, mereka masih membutuhkan tenaga kerja yang sifatnya manual skill, terutama di sektor pertanian dan perikanan," papar Kepala Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi Asmat, ketika diwawancarai BBC News Indonesia, Rabu (2/7/2025).
"Sehingga butuh banyak pekerja dari luar, terutama Indonesia," imbuhnya.
Pada 2019, Pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat bekerja sama di sektor ketenagakerjaan di bawah bendera Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).
Fokus kerja sama ini yaitu pengiriman tenaga kerja di bidang tertentu (specified skilled worker).
Cakupannya merentang dari perawat, careworker, atau bidang-bidang lain yang memerlukan tenaga manusia—pertanian, perkapalan, hingga jasa. WNI yang mendaftar program ini akan diberi visa tokutei ginou.
Salah satu turunan dari kemitraan tersebut diwujudkan dengan kerja sama Kementerian Ketenagakerjaan dan otoritas Prefektur Miyagi pada 2023 kemarin. Kedua pihak saling setuju mengirim serta menempatkan tenaga kerja Indonesia ke Jepang.
Kesepakatan ketenagakerjaan antara Indonesia dan Jepang punya durasi empat tahun masa berlaku, serta dapat diperpanjang dengan waktu yang sama setelah berakhir.
Di luar itu, pemerintah Jepang turut mengadakan kegiatan pemagangan (kenshusei) dengan jangka waktu tiga hingga lima tahun. Targetnya: lulusan SMA atau SMK.