Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh. Suaib Mappasila
Staf Ahli Komisi III DPR RI / Konsultan

Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum.

Revisi UU KUHAP: Menjawab Tantangan Sistem Peradilan Pidana Modern

Kompas.com - 26/03/2025, 10:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Advokat hanya berfungsi sebagai pendamping tersangka tanpa kewenangan intervensi yang cukup dalam tahap penyidikan.

Ketimpangan ini menciptakan posisi yang tidak seimbang antara penyidik dan tersangka, di mana penyidik memiliki kontrol penuh atas jalannya pemeriksaan, sementara tersangka hanya dapat pasif mengikuti proses tersebut.

Dalam sistem peradilan pidana yang lebih progresif, advokat seharusnya memiliki hak yang lebih luas untuk memastikan adanya keseimbangan dalam proses penyidikan dan pemeriksaan.

Misalnya, di beberapa yurisdiksi, advokat dapat mengajukan keberatan terhadap pertanyaan yang bersifat menjerat atau tidak relevan selama pemeriksaan kliennya, serta diberikan akses penuh terhadap berkas perkara sejak tahap awal penyidikan.

Dengan demikian, pembaruan KUHAP harus memberikan advokat peran yang lebih aktif untuk menjamin hak pembelaan tersangka secara optimal.

Lebih lanjut, kurangnya pemanfaatan teknologi dalam sistem peradilan pidana menjadi kelemahan lain dari KUHAP saat ini.

Dalam era digital seperti sekarang, penggunaan teknologi informasi dalam proses hukum seharusnya menjadi standar yang wajib diterapkan.

Salah satu contoh yang sangat relevan adalah kewajiban perekaman audio-visual dalam pemeriksaan tersangka.

Saat ini, KUHAP tidak mewajibkan adanya rekaman interogasi, sehingga membuka peluang bagi praktik penyiksaan atau intimidasi yang sulit dibuktikan di kemudian hari.

Beberapa negara telah mengadopsi sistem electronic recording of interrogations, yang mewajibkan seluruh interogasi tersangka direkam dalam bentuk video.

Penerapan kebijakan ini tidak hanya melindungi hak tersangka dari perlakuan tidak manusiawi, tetapi juga memastikan bahwa proses penyidikan berlangsung secara transparan dan dapat diuji secara objektif di pengadilan.

Jika Indonesia ingin memiliki sistem peradilan pidana yang lebih maju dan akuntabel, maka pemanfaatan teknologi seperti ini harus dimasukkan dalam revisi KUHAP.

Evaluasi draf RUU KUHAP

RUU KUHAP yang saat ini tengah dibahas berusaha mengatasi beberapa permasalahan di atas dengan memperkenalkan sejumlah pembaruan yang menjanjikan.

Salah satu inovasi utama dalam RUU ini adalah kewajiban perekaman pemeriksaan tersangka menggunakan CCTV. Ketentuan ini, yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (2), berpotensi menjadi langkah maju dalam mencegah praktik penyiksaan dan intimidasi terhadap tersangka.

Namun, efektivitas aturan ini dipertanyakan karena sifatnya yang tidak wajib, sehingga aparat penegak hukum masih memiliki keleluasaan untuk tidak merekam pemeriksaan dalam kondisi tertentu.

Selain itu, rekaman hasil pemeriksaan tetap berada dalam penguasaan penyidik, bukan lembaga independen.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi manipulasi bukti oleh aparat penegak hukum, yang dapat merugikan tersangka dalam proses peradilan.

Baca juga: Draf Revisi KUHAP Diralat, Penghinaan Presiden Bisa Selesai lewat Restorative Justice

Selain itu, penguatan peran advokat dalam proses hukum juga menjadi aspek yang perlu diperhatikan dalam revisi ini.

RUU KUHAP memberikan hak bagi advokat untuk menyatakan keberatan jika terjadi intimidasi terhadap kliennya selama pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 33. Advokat juga diperbolehkan mendampingi tidak hanya tersangka, tetapi juga saksi dan korban.

Meskipun demikian, masih terdapat pembatasan yang menghambat advokat dalam menjalankan perannya secara optimal, seperti larangan memberikan pendapat di luar pengadilan.

Pembatasan ini berpotensi menghalangi advokat dalam mengadvokasi kepentingan hukum kliennya di ruang publik, yang merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan prinsip fair trial.

Salah satu aspek positif lainnya dalam RUU KUHAP adalah penguatan konsep Restorative Justice sebagai alternatif penyelesaian perkara.

Mekanisme ini, yang diatur dalam satu bab khusus, bertujuan mengutamakan pemulihan hak korban daripada sekadar menjatuhkan hukuman kepada pelaku.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau