KOMPAS.com - Program korporasi petani sering menghadapi hambatan besar karena lemahnya arus informasi, minimnya koordinasi, dan kurangnya keterlibatan aktif dari pihak eksternal (stakeholders).
Hal ini menjadi catatan penting yang disampaikan akademisi Shinta Anggreany dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam sidang promosi Doktor Ilmu Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).
Selain berkiprah di dunia akademik, Shinta juga aktif sebagai penyuluh pertanian di Kementerian Pertanian dengan riset berpijak pada pengalaman langsung mendampingi petani.
Dalam risetnya, Shinta meneliti program korporasi petani di Karawang, Jawa Barat, yang sudah berjalan sejak 2018.
Penelitian ini menemukan fakta cukup mengejutkan: hambatan utama dalam korporasi petani bukan hanya soal teknologi, melainkan masalah komunikasi dan koordinasi. Dukungan teknologi akan kurang efektif tanpa adanya keterlibatan aktif dari pihak eksternal.
Para peneliti juga menemukan bahwa pertukaran informasi yang terjalin dengan baik di antara petani mampu meningkatkan koordinasi, mendorong inovasi, dan partisipasi anggota.
Sebaliknya, interaksi yang hanya berfokus pada transaksi material tidak banyak membantu keberlanjutan korporasi petani.
Menurut Shinta, sangat penting untuk menerapkan strategi komunikasi yang kuat untuk memperkuat organisasi petani dari dalam.
Strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti membentuk tim komunikasi khusus, memaksimalkan peran para pemimpin opini, mengadakan forum rutin untuk aktor penghubung, dan memanfaatkan saluran digital internal.
Dia juga menekankan bahwa kunci untuk memperkuat kelembagaan petani adalah dengan menggunakan strategi komunikasi yang inklusif dan partisipatif.
Shinta menawarkan beberapa langkah konkret. Dia menyarankan agar kelompok petani membentuk unit komunikasi khusus, memperkuat peran pemimpin opini dan aktor penghubung melalui pertemuan rutin, serta menggunakan media digital internal untuk meningkatkan literasi digital petani.
Dia juga menekankan pentingnya membangun kolaborasi formal dengan pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan, dan universitas.
Dengan menerapkan strategi ini, Shinta yakin bahwa petani akan lebih berpartisipasi dan solidaritas antaranggota akan meningkat, yang pada akhirnya akan memastikan keberlanjutan pengembangan korporasi petani.
“Petani kita kuat, hanya saja seringkali terhambat karena tidak ada alur komunikasi yang jelas. Riset ini saya dedikasikan untuk membantu mereka membangun jejaring yang lebih solid baik internal maupun dengan stakeholders,” tegasnya.
Baca juga: Respons Keluhan Petani Singkong di Lampung, Mentan Amran Siap Kawal Regulasi Tata Niaga
Sidang doktoral berlangsung di Ruang Seminar FEMA IPB, dipimpin Dekan FEMA, Prof. Sofyan Sjaf (Dekan Fakultas Ekologi Manusia). Bertindak sebagai promotor adalah Prof. Sumardjo, Djuara P. Lubis, dan Syahyuti.
Selain itu, hadir pula penguji eksternal, di antaranya Yoyon Haryanto (Direktur Polbangtan, Bogor) dan Dwi Retno Hapsari (Dosen Departmen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB).
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di siniArtikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya