Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Saatnya Imunitas Advokat bagi Konselor Internal Perusahaan

Di tengah perkembangan global yang semakin menuntut transparansi dan akuntabilitas, profit yang dihasilkan perusahaan tidak sekadar dilihat dari sisi angka, tapi juga bagaimana profit itu dihasilkan.

Praktik GCG membutuhkan upaya serius, tidak sekadar tuntutan eksternal, tapi juga kesadaran internal stakeholders dalam menjaga dan menegakkannya. Dalam hal inilah, peran penasihat hukum internal tiap-tiap perusahaan menjadi semakin sentral.

Penasihat hukum perusahaan bergeser tidak lagi sekadar pada level operasional dalam menyusun dokumen-dokumen perjanjian, perizinan, ataupun menangani kasus-kasus yang dihadapi oleh perusahaan.

Penasihat hukum internal menjadi mitra strategis dalam menyusun strategi kebijakan perusahaan agar perusahaan tidak hanya mendapat keuntungan, tapi juga memberikan sumbangsih lebih besar kepada lingkungan dan masyarakat.

Freeman (1984) dalam teori pemangku kepentingan (stakeholders theory) menyampaikan bahwa perusahaan harus memperhatikan kepentingan para pemangku kepentingannya, dan itu bukan sekadar para pemegang saham yang mendapat bagian dari deviden atas keuntungan perusahaan tersebut.

Apalagi, perusahaan tidak sepenuhnya identik dengan pemegang saham. Perusahaan adalah entitas yang berdiri sendiri.

Dalam hal ini, top management di tiap perusahaan bertindak sebagai agen untuk memastikan bahwa perusahaan menjalankan peranan bisnis dan sosialnya dan mendayung di antara berbagai karang kepentingan yang bisa jadi berbenturan satu sama lain.

Penasihat hukum internal menjadi mitra strategis bagi top management untuk memastikan bahwa tata kelola yang ada terbangun dengan baik.

Penasihat hukum internal menjalankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound.

Ia perlu memastikan bahwa kebijakan perusahaan selaras dengan peraturan yang berlaku, serta mendorong kepatuhan terhadap standar etika dan transparansi.

Melalui analisis hukum dan nasihat yang diberikannya, penasihat hukum internal mengidentifikasi peluang bagi perusahaan untuk berkontribusi lebih besar kepada masyarakat dan lingkungan, misalnya dengan mengadopsi praktik bisnis berkelanjutan.

Tugas utamanya adalah bagaimana memitigasi potensi risiko hukum yang dapat muncul dari keputusan strategis perusahaan.

Namun, tugas ini tidak ringan karena ia berada di tengah-tengah berbagai kepentingan yang kerap saling berbenturan.

Tidak hanya antara perusahaan dengan pihak eksternal, tetapi juga antardivisi di internal perusahaan. Tidak jarang, divisi hukum digunakan sebagai bumper.

Masalahnya, penasihat hukum internal perusahaan tidak memiliki perlindungan setara dengan rekan sejawatnya yang berprofesi sebagai advokat yang berpraktik secara mandiri.

Secara umum, advokat dalam UU Advokat diberikan privilese berupa imunitas advokat yang melindungi advokat dari tuntutan perdata maupun pidana selama menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat).

Padahal, tidak sedikit dari penasihat hukum internal perusahaan yang juga memiliki izin beracara.

Kasus Yap Thiam Hien, yang membela Soebandrio, menjadi tonggak penting dalam sejarah advokat Indonesia.

Kasus tersebut menegaskan bahwa seorang pengacara berhak berbicara dengan jujur tanpa harus takut mengalami akibat yang tidak adil (Lev, 2011).

Namun, perkembangan dunia hukum telah membuat risiko yang dulu hanya dihadapi oleh pengacara litigasi kini juga mengancam pengacara korporasi, termasuk konselor internal yang dulu dianggap memiliki posisi lebih aman.

Jika pengacara di firma hukum swasta dapat memilih klien mereka atau bahkan menolak suatu kasus, konselor internal tidak memiliki kebebasan serupa.

Sebagai karyawan, mereka bertanggung jawab langsung kepada perusahaan tempat mereka bekerja.

Selain memberikan nasihat hukum kepada manajemen, konselor internal juga harus melayani berbagai departemen seperti keuangan, operasional, pemasaran, dan penjualan—semuanya memiliki kepentingan berbeda-beda.

Kondisi ini kerap menempatkan mereka pada posisi rentan. Mereka bisa saja terjebak di antara berbagai tekanan yang saling bertentangan untuk mendukung kepentingan masing-masing departemen.

Imunitas hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 bertujuan melindungi advokat dari tanggung jawab pribadi selama mereka bertindak dengan itikad baik untuk kliennya.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013 bahkan memperluas cakupan imunitas ini hingga meliputi aspek non-litigasi.

Sayangnya, perlindungan ini hanya menyinggung aspek objek, bukan subjek. Nasib penasihat hukum internal perusahaan sebagai bagian dari profesi advokat tetap belum jelas.

Jika definisi advokat dan klien dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 ditafsirkan secara tepat, seharusnya penasihat hukum internal perusahaan termasuk dalam kategori advokat, sementara perusahaan yang mempekerjakan mereka dianggap sebagai klien.

Dengan demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada advokat di firma hukum swasta seharusnya juga berlaku bagi konselor internal.

Namun, hingga hal ini diatur secara eksplisit dalam undang-undang, posisi konselor internal masih berada dalam area abu-abu.

Salah satu cara untuk memperjuangkan perlindungan ini adalah melalui proses legislasi, dengan berharap Dewan Perwakilan Rakyat atau pemerintah mengubah Undang-Undang No. 18 Tahun 2003. Namun, proses ini memakan waktu lama dan penuh ketidakpastian.

Alternatif lainnya adalah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini dapat menjadi solusi lebih cepat dan memungkinkan penasihat hukum internal mendapatkan perlindungan setara dengan advokat lainnya.

Tanpa imunitas hukum, penasihat hukum internal bisa merasa tertekan untuk bertindak tidak etis atau bahkan melanggar hukum demi mempertahankan posisi mereka di perusahaan.

Mereka juga berisiko menjadi kambing hitam atas keputusan yang diambil top management.

Dalam beberapa kasus, perusahaan bahkan bisa memanfaatkan kelemahan ini dengan menjadikan penasihat hukum internalnya sebagai "bantalan hukum" untuk melindungi diri dari risiko hukum.

Situasi ini tidak hanya merugikan penasihat hukum internal perusahaan secara individu, tetapi juga melemahkan tata kelola perusahaan yang baik dan supremasi hukum.

Ketidakpastian hukum terkait imunitas bagi penasihat hukum internal tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga menjadi ancaman bagi praktik tata kelola perusahaan yang baik, kepatuhan hukum, dan keberlanjutan bisnis.

Mengingat semakin pentingnya peran penasihat hukum internal perusahaan dalam menegakkan tata kelola perusahaan dan kepatuhan hukum, sudah saatnya mereka mendapatkan perlindungan hukum yang setara dengan advokat di firma hukum swasta.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/12/23/090000980/saatnya-imunitas-advokat-bagi-konselor-internal-perusahaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke