Masalahnya, penasihat hukum internal perusahaan tidak memiliki perlindungan setara dengan rekan sejawatnya yang berprofesi sebagai advokat yang berpraktik secara mandiri.
Secara umum, advokat dalam UU Advokat diberikan privilese berupa imunitas advokat yang melindungi advokat dari tuntutan perdata maupun pidana selama menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat).
Padahal, tidak sedikit dari penasihat hukum internal perusahaan yang juga memiliki izin beracara.
Kasus Yap Thiam Hien, yang membela Soebandrio, menjadi tonggak penting dalam sejarah advokat Indonesia.
Kasus tersebut menegaskan bahwa seorang pengacara berhak berbicara dengan jujur tanpa harus takut mengalami akibat yang tidak adil (Lev, 2011).
Namun, perkembangan dunia hukum telah membuat risiko yang dulu hanya dihadapi oleh pengacara litigasi kini juga mengancam pengacara korporasi, termasuk konselor internal yang dulu dianggap memiliki posisi lebih aman.
Jika pengacara di firma hukum swasta dapat memilih klien mereka atau bahkan menolak suatu kasus, konselor internal tidak memiliki kebebasan serupa.
Sebagai karyawan, mereka bertanggung jawab langsung kepada perusahaan tempat mereka bekerja.
Selain memberikan nasihat hukum kepada manajemen, konselor internal juga harus melayani berbagai departemen seperti keuangan, operasional, pemasaran, dan penjualan—semuanya memiliki kepentingan berbeda-beda.
Kondisi ini kerap menempatkan mereka pada posisi rentan. Mereka bisa saja terjebak di antara berbagai tekanan yang saling bertentangan untuk mendukung kepentingan masing-masing departemen.
Imunitas hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 bertujuan melindungi advokat dari tanggung jawab pribadi selama mereka bertindak dengan itikad baik untuk kliennya.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013 bahkan memperluas cakupan imunitas ini hingga meliputi aspek non-litigasi.
Sayangnya, perlindungan ini hanya menyinggung aspek objek, bukan subjek. Nasib penasihat hukum internal perusahaan sebagai bagian dari profesi advokat tetap belum jelas.
Jika definisi advokat dan klien dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 ditafsirkan secara tepat, seharusnya penasihat hukum internal perusahaan termasuk dalam kategori advokat, sementara perusahaan yang mempekerjakan mereka dianggap sebagai klien.
Dengan demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada advokat di firma hukum swasta seharusnya juga berlaku bagi konselor internal.