KOMPAS.com - Gerakan damai menolak membayar pajak sudah ada di Indonesia sejak era pendudukan Belanda.
Pada abad ke-19, seorang tokoh petani di Blora bernama Samin Surosentiko menggerakkan masyarakat untuk menentang kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Samin yang bernama asli Raden Kohar merupakan petani di Desa Ploso, Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora.
Selain menjadi petani, Samin juga dikenal sebagai guru kebatinan yang mengajarkan nilai kejujuran, kerukunan, kesederhanaan, dan hidup selaras dengan alam.
Dikutip dari jurnal berjudul Studi Komparasi Saminisme dengan Jean Paul Sartre tentang Kebebasan (Tinjauan Filsafat Sosial), awalnya pemerintah kolonial Hindia Belanda hanya menganggap kelompok Samin sebagai gerakan keagamaan dan kebatinan.
Sikap Hindia Belanda itu membuat keberadaan Samin dan kelompoknya tidak terlalu digubris.
Namun, perkiraan itu salah. Samin dan pengikutnya justru menyerukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menjadikan hutan sebagai perusahaan negara, serta membebankan pajak kepada masyarakat.
Dalam perjalanannya, banyak yang mengikuti Samin. Apalagi, saat itu sejumlah petani tidak mampu menggarap sawah karena terhalang pajak yang memberatkan.
Pengikut Samin pun tidak hanya berasal dari Blora, namun juga dari beberapa daerah lain seperti Pati, Madiun, Grobogan, Bojonegoro,dan Tuban.
Seperti halnya Mahatma Gandhi di India, dalam melakukan perlawanan, kelompok Samin tidak menggunakan kekerasan secara fisik.
Kelompok Samin melawan secara pasif dengan melakukan pembangkangan terhadap aturan yang diterapakan pemerintah kolonial.
Dalam buku Masyarakat Samin:Siapakah Mereka? (2003) disebutkan bahwa ada beberapa hal yang membuat gerakan Saminisme berkembang pesat di Pulau Jawa.
Pertama, gerakannya mirip dengan organisasi proletariat yang menentang sistem feodalisme dan kolonialisme.
Kedua, mereka tidak melakukan aktivitas perlawanan fisik yang mencolok. Kelompok Samin memilih melawan dengan prinsip diam, seperti menolak membayar pajak, tidak bersedia menyumbang tenaga untuk pembangunan, serta menolak aturan agraria yang menindas masyarakat.Â
Dikutip dari buku Samin: Bahasa Persaudaraan dan Perlawanan (2018), karena kecakapannya dalam memimpin, pada 8 November 1907 Samin diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryaalam.
Tidak lama setelah itu, Samin ditangkap oleh Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Bersama delapan pengikutnya Samin dibuang ke Padang, Sumatera Barat.
Saat itu, Raden Pranolo sebagai penguasa pribumi setempat jengkel terhadap Samin karena perlawanan yang dilakukan. Meski tanpa kekerasan, gerakan mogok seperti menolak membayar pajak dianggap sebagai tindakan yang mengancam Belanda.Â
Meski Samin ditangkap, namun perlawanan para pengikut Samin terus berlanjut. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, gencar menyebarkan ajaran Samin di Madiun dan mengajak warga untuk tidak membayar pajak ke pemerintah.
Karsiyah, tokoh yang menyebarkan ajaran Samin di Kajen, Pati juga mengimbau masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan serupa.
Puncak penyebaran ajaran Samin terjadi pada 1914 ketika pemerintah Hindia Belanda menaikkan biaya pajak. Kebijakan itu disambut pengikut Samin di sejumlah daerah dengan pembangkangan dan penolakan.Â
Hal itu membuat pemerintah Hindia Belanda gencar menangkap pengikut Samin untuk meredam perlawanan.
Eksistensi masyarakat Samin masih terus ada bahkan di era kemerdekaan hingga sekarang.
Saat ini, kelompok Samin dikenal juga dengan nama Sedulur Sikep. Mereka tinggal di sekitar perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Blora hingga Bojonegoro.
Sebagian besar Sedulur Sikep masih memegang teguh nilai tradisional yang diajarkan Samin Surosentiko, yang dijalankan dengan prinsip kesederhanaan.Â
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini