Tidak lama setelah itu, Samin ditangkap oleh Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Bersama delapan pengikutnya Samin dibuang ke Padang, Sumatera Barat.
Saat itu, Raden Pranolo sebagai penguasa pribumi setempat jengkel terhadap Samin karena perlawanan yang dilakukan. Meski tanpa kekerasan, gerakan mogok seperti menolak membayar pajak dianggap sebagai tindakan yang mengancam Belanda.Â
Meski Samin ditangkap, namun perlawanan para pengikut Samin terus berlanjut. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, gencar menyebarkan ajaran Samin di Madiun dan mengajak warga untuk tidak membayar pajak ke pemerintah.
Karsiyah, tokoh yang menyebarkan ajaran Samin di Kajen, Pati juga mengimbau masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan serupa.
Puncak penyebaran ajaran Samin terjadi pada 1914 ketika pemerintah Hindia Belanda menaikkan biaya pajak. Kebijakan itu disambut pengikut Samin di sejumlah daerah dengan pembangkangan dan penolakan.Â
Hal itu membuat pemerintah Hindia Belanda gencar menangkap pengikut Samin untuk meredam perlawanan.
Eksistensi masyarakat Samin masih terus ada bahkan di era kemerdekaan hingga sekarang.
Saat ini, kelompok Samin dikenal juga dengan nama Sedulur Sikep. Mereka tinggal di sekitar perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Blora hingga Bojonegoro.
Sebagian besar Sedulur Sikep masih memegang teguh nilai tradisional yang diajarkan Samin Surosentiko, yang dijalankan dengan prinsip kesederhanaan.Â
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini