Dalam hal pihak penyelenggara (EO) mengadakan konser dengan mengundang artis (penyanyi), maka pihak penyelenggara (EO) tersebut yang menjadi pengguna.
Sedangkan dalam hal artis (penyanyi) mengadakan konser untuk keperluannya sendiri, maka artis (penyanyi) tersebut yang menjadi pengguna.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 24 UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa Penggunaan Secara Komersial adalah pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.
Bertitik tolak dari pemikiran ini, Penulis menilai bahwa kekisruhan yang timbul akibat Putusan Pengadilan Niaga adalah bersumber dari kekeliruan dalam menyimpulkan pihak yang dinyatakan sebagai “pengguna”.
Patut disayangkan karena dalam persidangan ternyata Agnez Mo tidak pernah menghadirkan dokumen perjanjian dengan PT. ABG maupun bukti komunikasi (pesan) antara Agnez Mo dengan pihak PT. ABG sebagai bukti, untuk membuktikan siapa yang sebenarnya berkewajiban untuk mengurus izin atau melakukan pembayaran royalti, dan apakah benar Agnez Mo pernah menyampaikan kepada PT. ABG untuk membayar royalti kepada Ari Bias.
Dalam Putusan Pengadilan Niaga, disebutkan bahwa Agnez Mo merupakan pengguna dengan alasan yang terkesan sangat sederhana, yaitu karena Agnez Mo merupakan artis atau pelaku
pertunjukan (penyanyi).
Di sinilah menurut Penulis akar permasalahannya, karena Pasal 9 UU Hak Cipta sebenarnya bukan menggunakan kata “pelaku pertunjukan” yang pengertiannya sudah pasti sangat sempit dan sangat spesifik, melainkan menggunakan kata “setiap orang” yang pengertiannya sangat luas.
Pasal 1 angka 6 UU Hak Cipta memang mendefinisikan pelaku pertunjukan sebagai seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukkan suatu Ciptaan.
Namun, mempersamakan “pelaku pertunjukan” dengan “pengguna”, apalagi tanpa mempertimbangkan fakta mengenai siapa yang sebenarnya menjadi penyelenggara suatu konser atau pertunjukan, merupakan kekeliruan.
Dengan pemikiran demikian, dalam konser yang diselenggarakan oleh siapa pun, sudah pasti artis (penyanyi) yang akan selalu dianggap sebagai pengguna, karena artis (penyanyi) itulah yang selalu membawakan lagu untuk dipertontonkan dalam pertunjukan konser tersebut.
Pemikiran seperti ini tentunya sangat fatal dan patut dihindari dalam ranah penegakan hukum, karena telah melakukan penafsiran di luar cara-cara yang lazim terhadap suatu ketentuan hukum, yang mengakibatkan suatu rumusan atau ketentuan hukum yang sebenarnya sudah jelas maknanya, menjadi berubah dan bahkan tidak sesuai lagi dengan maksud ketentuan undang-undang itu sendiri.
Dalam Putusan Pengadilan Niaga terlihat bahwa sebelumnya saksi dan ahli yang dihadirkan Ari Bias pun sebenarnya sudah menjelaskan bahwa yang bertanggung jawab untuk membayar royalti kepada pencipta lagu dalam konser atau pertunjukan adalah pihak penyelenggara (EO).
Johnny Maukar, salah satu Komisioner LMKN menyatakan “LMKN melakukan penagihan kepada perusahaan user, bukan pelaku pertunjukan, tapi LMKN melakukan penagihan royalti itu kepada, biasanya kalau pertunjukan itu promotor”.
Demikian juga dengan Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H. (Guru Besar Hak Kekayaan Intelektual) yang menyatakan “Dalam konteks ini maka event organizer inilah yang wajib meminta izin kepada penciptanya”.
Namun, seluruh keterangan saksi dan ahli tersebut tidak ada yang dipertimbangkan oleh Pengadilan Niaga.
Denda
Penulis juga ingin menyampaikan catatan mengenai hukuman denda yang dijatuhkan terhadap Agnez Mo.
Gugatan pelanggaran hak cipta merupakan bentuk khusus dari gugatan perbuatan melawan hukum yang dikenal secara umum dalam hukum perdata.
Pasal 1365 KUHPerdata mengatur bahwa “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Dalam Pasal 1365 KUHPerdata tidak digunakan istilah “denda” untuk menyebutkan ganti kerugian.
Bahkan dalam Pasal 1246 KUHPerdata juga tidak ada menggunakan istilah “denda”, melainkan istilah “biaya, ganti rugi dan bunga”.
Demikian juga dalam UU Hak Cipta yang tidak menggunakan istilah “denda” dalam upaya hukum perdata terkait Hak Cipta, melainkan istilah “ganti rugi”.
Pasal 1 angka 25 UU Hak Cipta menyatakan bahwa “Ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang yang dibebankan kepada pelaku pelanggaran hak ekonomi Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau pemilik Hak Terkait berdasarkan putusan pengadilan perkara perdata atau pidana yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian yang diderita Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau pemilik Hak Terkait”.
Selanjutnya Pasal 99 UU Hak Cipta menentukan bahwa Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas
pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait.
Gugatan ganti rugi tersebut dapat berupa permintaan untuk menyerahkan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari hasil pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait.
“Ganti rugi” dalam konteks perdata tentunya tidak dapat dipersamakan dengan “denda” dalam
konteks pidana.
Pidana denda adalah salah satu jenis pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, dan pengenaan pidana denda harus melalui proses peradilan pidana, bukannya melalui peradilan perdata.
Apabila yang dimaksud dengan “denda” tersebut adalah “ganti kerugian”, maka sebagaimana sejumlah Yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah ditentukan bahwa tuntutan ganti rugi harus didasarkan pada kerugian nyata/riil yang dialami, dan harus diuraikan secara rinci.
Tuntutan ganti rugi yang tidak disertai perincian kerugian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Putusan Mahkamah Agung Nomor 588 K/Sip/1983).
Berdasarkan ketentuan UU Hak Cipta, maka sebenarnya yang dapat dikualifikasikan sebagai bentuk kerugian nyata/riil bagi pencipta lagu dalam hal lagu ciptaannya telah digunakan oleh pihak lain tanpa izin adalah berupa nilai pembayaran royalti, dengan besaran sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 dan Keputusan LMKN Nomor 20160512KM/LMKN-Pleno/Tarif Royalti/2016.
Oleh karena itu, Penulis berharap agar pada tingkat kasasi Mahkamah Agung dapat melakukan
koreksi terhadap Putusan Pengadilan Niaga sesuai kewenangan Mahkamah Agung.
Salah satunya untuk membatalkan putusan pengadilan yang salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Semoga perseteruan antara Ari Bias dengan Agnez Mo tidak menjadi pemicu “perang” antara penyanyi dengan pencipta lagu, melainkan jadi momen tepat untuk saling melakukan koreksi dan perbaikan guna memberikan manfaat bagi semua pihak.
https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2025/02/21/144942780/sengkarut-putusan-pengadilan-niaga-perkara-ari-bias-vs-agnez-mo