Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta menentukan bahwa Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. penerbitan ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan ciptaan; d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. Pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i. penyewaan ciptaan.
Lalu, bagaimana ketentuannya apabila ada pihak lain yang ingin menggunakan suatu ciptaan (seperti lagu) secara komersil dalam suatu pertunjukan, misalnya konser? Apakah harus meminta izin kepada Pencipta?
Baca artikel sebelumnya: Sengkarut Putusan Pengadilan Niaga Perkara Ari Bias Vs Agnez Mo (Bagian I)
Pada prinsipnya, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Cipta sebagaimana sebelumnya telah dituliskan di atas mengatur bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta wajib untuk mendapatkan izin dari Pencipta.
Tanpa adanya izin dari Pencipta tersebut, maka siapa pun dilarang melakukan Penggandaan
dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Namun, masalah pemberian izin terlebih dahulu dari Pencipta ternyata tidak berlaku mutlak untuk keseluruhan isi Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta.
Untuk hal yang merupakan “mechanical rights” atau hak untuk mendapatkan royalti dari reproduksi lagu di berbagai media, demikian juga dengan “synchronization rights” atau hak untuk mendapatkan royalti apabila lagu tersebut digunakan pada iklan, film, ataupun video, tetap memerlukan izin terlebih dahulu dari Pencipta.
Sementara untuk hal yang merupakan “performing rights” atau hak untuk mendapatkan royalti dari pertunjukan yang memutar lagu tersebut, diperbolehkan untuk tidak memerlukan izin terlebih dahulu dari Pencipta, sepanjang dilakukan pembayaran imbalan (royalti) kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
Adapun yang merupakan “performing rights” dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta adalah sebagaimana disebut pada bagian huruf f (pertunjukan Ciptaan), huruf g (Pengumuman Ciptaan), dan huruf h (Komunikasi Ciptaan).
“Pengecualian” terkait perolehan izin terlebih dahulu dari Pencipta tersebut adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta yang menentukan bahwa “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif”.
Demikian juga dalam Pasal 87 ayat (4) UU Hak Cipta yang menentukan bahwa pemanfaatan Ciptaan dan/ atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna tidak dianggap sebagai pelanggaran UU Hak Cipta sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Ketentuan tersebut di atas telah diatur lebih lanjut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (PP 56/2021).
Pasal 3 ayat (1) PP 56/2021 mengatur bahwa setiap orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN.
Disebutkan bahwa salah satu bentuk layanan publik yang bersifat komersial tersebut adalah berupa konser musik.
Dalam PP 56/2021 juga diatur bahwa setiap orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial, baik dengan mengajukan permohonan Lisensi kepada Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN (Pasal 9 ayat (1) PP 56/2021) maupun tanpa perjanjian Lisensi (Pasal 10 ayat (2) PP 56/2021), dengan membayar Royalti melalui LMKN.
Dalam hal Penggunaan Secara Komersial untuk suatu pertunjukan adalah tanpa perjanjian Lisensi, maka pembayaran Royalti dilakukan segera setelah Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik (Pasal 10 ayat (3) PP 56/2021).
LMKN melakukan penarikan Royalti dari Orang yang melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik bersifat komersial untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota maupun yang belum menjadi anggota dari suatu LMK.
Selanjutnya Royalti yang telah dihimpun oleh LMKN tersebut digunakan untuk: a. didistribusikan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak terkait yang telah menjadi anggota LMK; b. dana operasional; dan c. dana cadangan.
Dalam Pasal 1 Keputusan LMKN Nomor 20160512KM/LMKN-Pleno/Tarif Royalti/2016, tanggal
12 Mei 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti Untuk Konser Musik (yang merupakan salah satu lampiran dari Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tanggal 20 Mei 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti Untuk Pengguna Yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu), juga telah diatur bahwa tarif royalti bagi konser musik dengan penjualan tiket dihitung berdasarkan hasil kotor penjualan tiket (gross ticket box) dikali dua persen ditambah dengan tiket yang digratiskan (complimentary ticket) dikali satu persen.
Untuk konser musik yang tidak berbayar (gratis), juga dikenakan tarif royalti yang dihitung berdasarkan biaya produksi musik (music production cost) dikali dua persen.
Adapun ketentuan tarif royalti tersebut merupakan satu-satunya tarif resmi yang ditarik dari pengguna hak pencipta oleh LMK Pencipta.
Salah menerapkan hukum?
Dari seluruh peraturan hukum yang telah disebutkan di atas, mulai dari tingkat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, hingga Keputusan LMKN, dapat diketahui bahwa suatu ciptaan (lagu) sebenarnya dapat digunakan secara komersil dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta, dengan syarat pengguna harus membayar imbalan (royalti) kepada Pencipta melalui LMK/LMKN.
LMKN yang merupakan lembaga bantu pemerintah non APBN dan sebagai satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan untuk mengatur tata kelola royalti lagu dan/atau musik di Indonesia, pada 12 Agustus 2023, pernah menyampaikan pernyataan sikap, yang salah satu poinnya adalah:
“4. LMKN berpendapat bahwa pembuat Undang-undang telah dengan tepat dan bijak membuat perimbangan antara Hak Pencipta Lagu atas karya ciptanya dan perlindungan kepada Pengguna karya cipta lagu yang beritikad baik. Hal ini dengan jelas dan tegas termuat di dalam Pasal 9 UUHC yang mensyaratkan adanya izin Pencipta Lagu atas penggunaan karya ciptanya.
Di samping itu, Pasal 23 dan 87 UUHC membuat pengecualian atas keharusan meminta ijin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membuka ruang perijinan dengan mekanisme perlisensian pembayaran royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
Pengecualian ini berlaku terbatas hanya pada penggunaan lagu dalam batasan performing rights. Oleh sebab itu, berbagai bentuk pelarangan penggunaan lagu oleh Pencipta Lagu tidak tepat dan dapat diartikan sebagai bertentangan dengan Undang-undang.”
Hal ini perlu disampaikan kembali untuk sekaligus mengimbangi argumen dari pihak pencipta lagu yang menganggap berhak melarang penyanyi untuk membawakan lagu ciptaannya, ataupun pencipta lagu yang mensyaratkan permintaan izin harus secara langsung (direct) kepadanya.
Berdasarkan PP 56/2021, hak ekonomi pencipta berupa “performing rights” sebagaimana Pasal 9 ayat (1) huruf f, huruf g, dan huruf h UU Hak Cipta sudah beralih kepada LMKN, dan secara hukum izin dari LMKN (atas nama pencipta) dapat diperoleh dengan cara membayar imbalan (royalti) melalui LMKN.
Menurut Penulis, mekanisme perolehan izin untuk penggunaan lagu dalam konser atau pertunjukan tidak dapat semata-mata didasarkan pada Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Cipta.
Secara hukum memang terdapat pengecualian berdasarkan Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 87 ayat (4) UU Hak Cipta, yang dipertegas dalam Pasal 3 ayat (1) maupun Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) PP 56/2021.
Tarif royaltinya pun (untuk konser musik) bahkan telah dirinci dalam Keputusan LMKN Nomor 20160512KM/LMKN-Pleno/Tarif Royalti/2016, tanggal 12 Mei 2016, yang merupakan satu-satunya tarif resmi yang ditarik dari pengguna hak pencipta oleh LMK Pencipta.
Dengan melakukan pembayaran royalti, maka secara hukum pemberian izin sudah terjadi.
Lalu siapa pihak yang bertanggung jawab untuk membayar royalti (kepada pencipta lagu melalui LMKN) dalam konser atau pertunjukan tersebut?
Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta maupun Pasal 3, Pasal 9, dan Pasal 10 PP 56/2021 menggunakan kata “setiap orang”, dan Pasal 12 PP 56/2021 menggunakan kata “orang”, sedangkan Pasal 87 ayat (4) UU Hak Cipta maupun Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 dan Keputusan LMKN Nomor 20160512KM/LMKN-Pleno/Tarif Royalti/2016 menggunakan kata “pengguna”.
Kata “setiap orang” maupun “orang” dalam sejumlah ketentuan tersebut berhubungan dengan klausul yang sama, yaitu “melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan” atau menggunakan secara komersial ciptaan.
Dengan kata lain, kata “setiap orang” maupun kata “orang” sebenarnya mempunyai makna yang sama dengan kata “pengguna”.
Kemudian, siapa yang dimaksud sebagai pengguna dari hak pencipta lagu dalam suatu konser atau pertunjukan? Apakah penyanyi (artis) atau pihak penyelenggara (EO)?
Bersambung, baca artikel selanjutnya: Sengkarut Putusan Pengadilan Niaga Perkara Ari Bias Vs Agnez Mo (Bagian III-Habis)
https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2025/02/21/125517780/sengkarut-putusan-pengadilan-niaga-perkara-ari-bias-vs-agnez-mo