Konsep ini sering disebut sebagai "tembok drone”, istilah yang kemudian dipakai Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam pidato kenegaraan tahunan beberapa waktu lalu.
Komisi Eropa bahkan mengumumkan proyek produksi drone bersama senilai 6 miliar euro (Rp 116,5 triliun), dengan keahlian Ukraina akan menjadi kunci.
"Kita perlu belajar dari Ukraina,” kata Ian Bond, wakil direktur Centre for European Reform (CER) di Brussels.
"Mereka cukup berhasil menjatuhkan drone Rusia. Kalau mereka punya teknologinya, kita harus memilikinya juga.”
Baca juga: Apa Itu NATO, Siapa Saja Anggotanya?
Salah satu tantangan NATO adalah memperluas penerapan teknologi pertahanan drone baru.
Admiral Rob Bauer, mantan ketua Komite Militer NATO, mengatakan bahwa selain perangkat keras, Eropa perlu mengubah cara pandang terhadap Rusia.
"Kita perlu memberi tahu publik, dan masyarakat harus menerima bahwa ada ancaman,” ujarnya kepada DW.
Sementara itu, Kremlin terus mengulang narasi bahwa NATO sedang berperang dengan Rusia.
NATO membantah, tetapi Bauer menyebut aliansi itu kini berada di "zona abu-abu antara damai dan perang” dan siaga penuh:
"Ini pesan penting untuk Tuan Putin: NATO akan merespons, apa pun yang terjadi.”
Dia menambahkan bahwa keberhasilan menembak jatuh drone di Polandia membuktikan keampuhan sistem pertahanan aliansi.
"Saya kira kita telah lulus tes, tapi kita harus lebih baik menghadapi ancaman baru ini.”
Namun, Ian Bond dari CER skeptis terhadap kemampuan pertahanan drone NATO saat ini.
"Kesan yang muncul, NATO belum siap menghadapi drone. Mereka harus meningkatkan kemampuan secara signifikan,” katanya.
Bond menilai NATO perlu lebih tegas dan menembak jatuh drone Rusia, bahkan jika terbang di atas Ukraina barat. Hingga kini, beberapa negara anggota masih menahan diri.