KOMPAS.com - Di pesisir Tanjung Langka, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tujuh lubang berdiameter lebih dari satu meter tetap berdiri kokoh meski usianya telah melewati delapan dekade.
Lubang-lubang ini dikenal sebagai Sumur Tujuh atau “Sumor Tujuh” dalam bahasa lokal Bangka.
Dari kejauhan, bentuk sumur tampak sederhana, hanya lingkaran batu di tepi pantai. Namun, semakin mendekat, kesunyian yang menyelubungi Sumur Tujuh seakan menyimpan gema masa lalu yang jarang dibicarakan.
Dinding sumur yang tebal dan ditumbuhi lumut menjadi saksi bisu upaya Jepang memproduksi garam di Pulau Bangka pada masa Perang Dunia II.
Keberadaan tujuh sumur yang berjejer ini bagaikan jendela kecil yang menyingkap sejarah ketika sebuah pulau kecil ikut terseret arus peperangan global.
Masyarakat Bangka Tengah menilai situs ini sebagai warisan sejarah lokal yang sarat makna, sekaligus penanda pentingnya menjaga ingatan sejarah daerah.
Baca juga: Mengenang Sejarah Perobekan Bendera di Hotel Yamato lewat Teatrikal Surabaya Merah Putih
Pendudukan Jepang di Bangka dimulai pada Februari 1942. Selain menguasai tambang timah untuk mendukung mesin perang,
Jepang juga menempatkan perhatian pada produksi pangan strategis, termasuk garam.
Garam dibutuhkan untuk mengawetkan makanan bagi prajurit Jepang yang bertugas di berbagai wilayah pendudukan.
Sekitar tahun 1943, Jepang membangun tujuh sumur di Pantai Tanjung Langka.
“Sumur itu bukan untuk mengambil air tawar, melainkan menampung air laut. Air laut dipompa atau diangkut ke sumur, dibiarkan menguap di bawah terik matahari, kemudian kristal garam dikumpulkan dalam wadah bambu sebelum dikirim untuk logistik tentara,” ujar sejarawan Kepulauan Bangka Belitung, Akhmad Elvian.
Menurut Elvian, Jepang tidak bisa lagi bergantung pada suplai dari luar, sehingga produksi garam lokal menjadi sangat penting.
Baca juga: Sejarah Hari Perdamaian Internasional: 21 September
Sumur Tujuh menjadi salah satu titik produksi yang strategis pada masa pendudukan.
Meski sudah dikenal publik, pelestarian Sumur Tujuh masih jauh dari ideal. Dinding sumur mulai rapuh, sementara ancaman abrasi pantai terus mengintai.
Penelitian akademik tentang Sumur Tujuh juga masih minim karena banyak arsip Jepang yang hilang atau dimusnahkan, serta laporan Belanda pascaperang jarang menyebut fasilitas kecil semacam itu.