KOMPAS.com - Gelombang aksi unjuk rasa sebagai bentuk kekecewaan terhadap kinerja DPR RI dan Polri, menimbulkan kekhawatiran akan berakhir seperti Peristiwa Mei 1998.
Warganet lantas menyebarkan seruan untuk melakukan tarik tunai dari bank-bank di Indonesia.
Tindakan ini disebut rush money, di mana masyarakat melakukan penarikan uang dari bank secara serentak dalam jumlah besar.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira berpendapat, rush money berisiko merugikan tidak hanya negara, tetapi masyarakat kecil.
"Ajakan rush di bank merugikan ekonomi dan menggerus kepercayaan terhadap stabilitas sektor keuangan," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Senin (1/9/2025).
Seruan menarik uang dari bank-bank di Indonesia merupakan narasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bhima mengungkapkan, memang ada pihak-pihak yang ingin stabilitas keuangan terganggu.
Padahal, pihak paling terdampak dari rush money adalah masyarakat kelas menengah ke bawah.
"Yang kaya sih tinggal telpon bank buat pindahkan uang, apalagi nasabah prioritas yang saldonya di bawah Rp 100 juta. Jadi korban (masyarakat kecil) harus antri ke bank," ucap dia.
Orang kaya dapat dengan mudah memindahkan aset keuangannya ke luar negeri.
Sementara, elemen masyarakat lainnya akan mengalami kesulitan akses terhadap uang tunai.
Adapun aktivitas ekonomi di tingkat usaha kecil dan menengah (UMKM) juga akan terhambat karena tidak dapat melakukan transaksi perbankan.
"Orang kaya bisa dengan mudah memindahkan aset keuangannya keluar negeri, bagaimana dengan masyarakat kecil dan UMKM yang butuh transaksi perbankan?" ujar Bhima.
Alih-alih panik dengan mengambil semua uang dari bank, Bhima mengajak masyarakat untuk saling menjaga aktivitas ekonomi.
Caranya, dengan tetap melakukan aktivitas ekonomi di tingkat akar rumput.