PADA 18 September 2025 di Beijing, Forum Xiangshan yang biasanya penuh pidato diplomatik berubah tegang ketika Yan Xuetong, profesor hubungan internasional terkemuka dari Universitas Tsinghua sekaligus salah satu pemikir paling berpengaruh di China, berbicara langsung kepada atase militer Israel.
Dengan nada tegas, ia menyatakan bahwa Israel telah kehilangan legitimasi karena menargetkan perempuan dan anak-anak.
Ia menutup pernyataannya dengan kalimat yang segera viral bahwa tidak ada yang percaya propaganda ini kecuali segelintir orang Israel.
Video singkat itu menyebar luas dan menandai momen ketika suara seorang intelektual China mengguncang narasi global tentang Gaza.
Beberapa hari sebelumnya, pada 15 September di Jerusalem, Benjamin Netanyahu berbicara di hadapan sekitar 250 politisi Amerika Serikat.
Ia menuduh China dan Qatar melancarkan blokade informasi terhadap Israel melalui media sosial dan kecerdasan buatan, lalu menyamakan strategi itu dengan pengepungan militer Iran melalui jaringan proksinya.
Baca juga: Resolusi PBB, Solusi Dua Negara, dan Ilusi Perdamaian di Gaza
Tuduhan ini bukan sekadar respons spontan, melainkan bagian dari strategi yang diperhitungkan.
Netanyahu tahu bahwa tanpa dukungan Washington, posisi Israel akan jauh lebih rapuh. Dengan mengaitkan Gaza pada ancaman Iran dan China, ia berusaha meneguhkan simpati Amerika sekaligus mengalihkan sorotan dari kritik internasional yang semakin lantang.
Dua hari setelah tuduhan itu, pada 17 September di Tel Aviv, Kedutaan Besar China merilis pernyataan resmi.
Tuduhan Netanyahu disebut sebagai kesalahan arah dan kesalahan solusi. Beijing menegaskan bahwa komunitas internasional justru menuntut gencatan senjata, perlindungan warga sipil Palestina, dan pengakuan Palestina sebagai anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pernyataan itu juga menekankan bahwa protes terhadap kebijakan Israel bukanlah produk propaganda asing, melainkan realitas politik yang muncul dari keresahan global dan domestik.
Dengan demikian, kritik terhadap Israel tidak bisa begitu saja diredam dengan menuding pihak luar.
Rangkaian peristiwa yang terjadi hampir bersamaan di Jerusalem, Tel Aviv, dan Beijing memperlihatkan pola yang jelas.
Konflik Gaza kini tidak hanya berlangsung di medan perang, melainkan juga di arena diplomasi dan opini publik.
Israel berusaha mempertahankan dukungan dengan membingkai kritik sebagai serangan informasi. China menolak narasi itu dan tampil sebagai suara yang menyerukan solusi politik.