GAZA, KOMPAS.com - Perancis menjadi negara terkini yang secara resmi mengakui negara Palestina.
Presiden Perancis, Emmanuel Macron, mengatakan, "Waktunya untuk perdamaian telah tiba" dan "tidak ada yang membenarkan perang yang sedang berlangsung di Gaza".
Perancis dan Arab Saudi menjadi tuan rumah pertemuan puncak satu hari di Majelis Umum PBB yang berfokus pada rencana solusi dua negara untuk konflik tersebut. Negara-negara G7, Jerman, Italia, dan AS, tidak hadir.
Baca juga: Ini Negara yang Mengakui Palestina dan yang Masih Menolak
Macron mengonfirmasi bahwa Belgia, Luksemburg, Malta, Andorra, dan San Marino juga akan mengakui negara Palestina, setelah UK, Kanada, Australia, dan Portugal mengumumkan pengakuan tersebut pada Minggu (21/9/2025).
Macron mengatakan kepada konferensi tersebut bahwa waktunya telah tiba untuk menghentikan perang dan membebaskan sisa sandera Israel yang ditawan oleh Hamas.
Ia memperingatkan tentang "bahaya perang tanpa akhir" seraya menegaskan "kebenaran harus selalu menang atas kekuatan".
Menurutnya, komunitas internasional telah gagal membangun perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah sehingga "kita harus melakukan segala daya upaya untuk menjaga kemungkinan solusi dua negara" yang akan mempertemukan "Israel dan Palestina dalam damai dan aman".
Macron mengatakan Perancis siap berkontribusi pada "misi stabilisasi" di Gaza dan menyerukan pembentukan pemerintahan transisi yang melibatkan Otoritas Palestina (PA) dalam mengawasi pembubaran Hamas.
Ia mengatakan Perancis hanya akan membuka kedutaan untuk negara Palestina ketika semua sandera yang ditahan Hamas dibebaskan dan gencatan senjata telah disepakati.
Menjelang pengumuman Macron, bendera Palestina dan Israel dipajang di Menara Eiffel pada Minggu (21/9/2025) malam.
Sejumlah balai kota di Perancis juga mengibarkan bendera Palestina pada Senin (22/9/2025), meski pemerintah Perancis mengimbau kepada para wali kota untuk menjaga netralitas.
Pengakuan negara Palestina oleh Perancis, Kerajaan Bersatu (UK), Kanada, dan Australia, merupakan momen penting.
"Palestina tidak pernah sekuat ini di seluruh dunia dibanding sekarang," kata Xavier Abu Eid, mantan pejabat Palestina.
"Dunia kini bergerak untuk Palestina."
Diplomat Palestina, Huzam Zomlot, pada awal bulan ini menyatakan pengakuan tersebut menjadi momen krusial.
"Apa yang akan dilihat di New York, mungkin adalah upaya terakhir untuk mengimplementasikan solusi dua-negara. Jangan sampai itu gagal" kata Zomlot memperingatkan.
"Itu berarti Israel hidup berdampingan dengan negara Palestina yang layak. Saat ini, keduanya tidak terwujud," ujar Zomlot yang merupakan Kepala Misi Palestina untuk UK.
Persoalannya kini: Apakah pengakuan simbolis dari banyak negara ini berpengaruh? Kemudian, siapa kelak pemimpinnya ketika negara ini kembali berdiri?
Saat ini, Palestina menghadapi berbagai krisis, salah satunya terkait kepemimpinan. Mahmoud Abbas kini berusia hampir 90 tahun.
Sementara Marwan Baghouti yang diprediksi berpotensi menjadi pemimpin, kini tengah dipenjara.
Hamas yang "dihancurkan" dan wilayah Tepi Barat yang mulai "terpecah" juga menambah genting krisis kepemimpinan di Palestina.
Akan tetapi, pengakuan internasional yang berdatangan tetap berarti.
"Itu bisa sangat berharga. Meski tergantung juga mengapa negara-negara ini melakukannya dan apa sebenarnya niat mereka," kata pengacara Palestina, Diana Buttu.
Seorang pejabat pemerintah UK, yang tidak ingin disebutkan namanya, berkata pengakuan simbolis saja tidak cukup.
"Pertanyaannya adalah apakah kita bisa mendapatkan kemajuan menuju sesuatu yang bermakna sehingga Majelis Umum PBB tidak hanya menjadi pesta pengakuan," ujarnya.
Deklarasi New York yang diumumkan akhir Juli 2025 berisi penegasan terhadap solusi dua negara dengan sejumlah syarat seperti:
Deklarasi ini disebut mengikat para penandatangan, termasuk UK, untuk mengambil "langkah-langkah konkret, terikat waktu, dan tidak dapat dibatalkan untuk penyelesaian damai masalah Palestina."
Persoalannya, syarat yang harus segera dipenuhi pascapengakuan ini kemungkinan berhadapan dengan hambatan yang sangat besar, kata pejabat di London.
Apalagi hingga saat ini, AS memiliki hak veto di PBB terkait pengakuan negara Palestina dan pernah berulangkali menggunakannya.
Pada Agustus, AS juga mengambil langkah tidak biasa dengan mencabut atau menolak visa bagi puluhan pejabat Palestina, yang kemungkinan melanggar aturan PBB sendiri.