KOMPAS.com – Biasanya, program Kuliah Kerja Nyata (KKN) hanya berlangsung 1–3 bulan sebagai bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat.
Namun, kisah Muhammad Kasim Arifin, mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) asal Langsa, Aceh, menembus batas waktu tersebut.
Ia rela tinggal di sebuah desa terpencil di Pulau Seram, Maluku, selama 15 tahun untuk membantu warga.
Pada 1964, Kasim pertama kali menginjakkan kaki di Waimital, sebuah desa tujuan transmigrasi di Pulau Seram, Maluku.
Saat itu, ia bersama rekan-rekan mahasiswa ditugaskan untuk memberikan edukasi kepada warga dalam mengolah sawah, membangun irigasi, hingga memperbaiki jalan desa.
Dedikasi Kasim sangat besar. Ia bahkan rela berjalan kaki sejauh 20 kilometer setiap hari demi mendampingi masyarakat setempat.
Ketika program KKN berakhir tiga bulan kemudian, rekan-rekannya kembali ke Bogor. Kasim memilih bertahan.
Ia merasa waktu tiga bulan tidak cukup untuk benar-benar mengangkat taraf hidup masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, para sahabat kuliahnya sudah lulus dan ada yang menjadi pejabat. Sementara itu, Kasim masih setia di Waimital sebagai petani.
Rektor IPB kala itu, Andi Hakim Nasution, memintanya kembali untuk menyelesaikan kuliah. Namun, Kasim menolak.
Rektor kemudian mengutus sahabatnya, Saleh Widodo, untuk menjemputnya. Baru setelah itu, Kasim bersedia pulang ke kampus.
Saat menyusun skripsi, Kasim mengaku tidak sanggup menuliskannya.
Teman-temannya lalu membantu dengan menuliskan kembali seluruh pengalamannya selama 15 tahun di Waimital.
Akhirnya, pada 22 September 1979, Kasim resmi diwisuda sebagai sarjana pertanian.
Ia hadir dengan sandal jepit, hingga kawan-kawannya harus meminjamkan jas dan sepatu untuknya.